JAKARTA – Pertemuan Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) dan Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto dilakukan di kawasan Tugu Monumen Nasional (Monas). Ada alasan khusus mengapa Monas dijadikan lokasi tempat pertemuan kedua tokoh politik ini.
Pertemuan Puan dan Airlangga dibalut dengan acara olahraga jalan santai di sekitar kawasan Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (8/10/2022) pagi. Pertemuan itu turut dihadiri jajaran partai masing-masing.
“Dari sini, Istana (presiden) kelihatan ya,” kata Puan kepada Airlangga saat jalan santai.
Perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu pun menyinggung soal sejarah dibangunnya Monas oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Puan menegaskan, seorang pemimpin tidak boleh melupakan sejarah.
“Sejarah dibangunnya Monas panjang, ada falsafahnya, artinya, dan lain sebagainya. Tentu saja itu menjadi pertanda bahwa kami dalam pertemuan ini Insyaallah bisa bermanfaat, bisa menyumbangkan sumbangsih kami untuk bangsa dan negara, bukan hanya sekarang saja, tapi nantinya pun bisa menyumbangkan sumbangsih untuk bangsa dan negara,” ucapnya.
Pembangunan Monumen Nasional (Monas) digagas oleh Bung Karno saat pemerintahan Indonesia kembali ke Jakarta dari Yogyakarta selama 3 tahun. Saat itu, Bung Karno berpikir perlu ada sebuah bangunan monumental yang melambangkan perjuangan Bangsa Indonesia.
“Setiap konsep arsitektur yang digagas oleh Bung Karno selalu bertujuan menampilkan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar di mata dunia,” jelas Puan.
Pembangunan Monas dimulai pada Agustus 1959 dan mulai dibuka untuk umum sejak tahun 1975. Puan mengatakan, Tugu Monas punya ciri khas tersendiri sebab arsitektur dan dimensinya melambangkan kias kekhususan Indonesia.
“Niat Bung Karno adalah Keagungan Monumen Nasional ini, dapat terlihat dari jarak 20-30 km. Bangungan setinggi lebih dari 120 meter dengan ujung bara api yang berlapis emas melambangkan semangat Bangsa Indonesia yang tak kunjung padam,” ungkap cucu Bung Karno itu.
Puan mengisahkan, sang kakek menginisiasi pembangunan Monas terinspirasi dari monumen-monumen di negara-negara yang dikunjunginya dalam muhibah di lebih dari 60 negara. Di antaranya adalah Patung Liberty di Amerika Serikat, Menara Eiffel di Paris, Prancis, dan Menara Pisa di Italia.
Awalnya desain monumen nasional disayembarakan dengan tema tentang monumen kebanggaan Tengaran Indonesia Baru, simbol manusia modern yang memiliki cita-cita setinggi langit. Namun, sampai dua kali sayembara terlaksana, tak ada yang bisa menjadi pemenang utama. Akhirnya, Bung Karno memerintahkan dua arsitek senior Friedrich Silaban dan R.M. Soedarsono untuk merancang Tugu Monas.
“Semangat gotong royong dalam pembangunan monumen nasional ini tercermin pada masa pemerintahan Bung Karno, sumbangan datang dari berbagai penjuru tanah air dalam bentuk rupa-rupa, di antaranya emas, uang tunai, sumbangan pembelian karcis bioskop, sumbangan ekspor kopra dan masih banyak lagi,” tutur Puan.
“Tidak saya bangunkan dengan satu sen pun daripada budget negara,” lanjutnya mengutip apa yang disampaikan Bung Karno.
Peniliti dan sejarawan, Dr. Ir. Yuke Ardhiati, MT menyebut Tugu Monas sebagai arsitektur drama. Hal ini lantaran tiap-tiap bagian bangunan merupakan rangkaian atau babak sebuah cerita tentang perjuangan bangsa Indonesia yang mampu membuai para pemirsa atau para pengunjung Tugu Monas, mendapatkan pengalaman spiritual tertentu yang menakjubkan.
Puan lalu menyinggung soal pembangunan Monas yang dirampungkan dalam dua masa pemerintahan yaitu di masa Presiden Soekarno, kemudian dilanjutkan di era Presiden Soeharto. Pembangunan Tugu Monas total dilakukan selama 14 tahun dan sejak diresmikan hampir 50 tahun lalu, Monas tetap menjadi ikon kebanggaan nasional.
“Jadi sama halnya seperti pembangunan Monas, pembangunan Indonesia ke depan pun juga harus seperti itu. Apa yang telah dibangun pemimpin sebelumnya dilanjutkan oleh pemimpin berikutnya,” ujar Puan.
“Saya dan Mas Airlangga hadir di tempat yang bersejarah ini untuk mewarisi semangat kegotongroyongan para pemimpin yang lalu, dalam membangun monumen nasional ini,” sambung mantan Menko PMK tersebut.
Sementara itu, Airlangga menyebut pertemuannya dengan Puan hari ini cukup spesial. Menurutnya, ada simbol-simbol dari pertemuannya dengan Puan.
“Pertemuan ini menjadi khusus dan luar biasa karena tentunya bertemu di Mobas merupakan simbol nasional sekaligus juga simbol pembangunan berkelanjutan,” terang Airlangga.
“Dan kepemimpinan itu berlanjut, pembangunan itu berlanjut, seperti yang disimbolkan Monas. Dibangun oleh Bung Karno, dan diresmikan Pak Harto pada waktu itu,” tanbah Menko Perekonomian itu.
Airlangga pun mengatakan, sejarah mencatat hubungan erat PDIP dan Golkar sejak awal Indonesia berdiri. Apalagi, selama beberapa waktu ini PDIP dan Golkar berada di koalisi yang sama membantu kelancaran Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Jadi pembicaraan kita bahwa politik ke depan adalah melanjutkan pembangunan. Dan untuk melanjutkan pembangunan harus ada dua unsur partai politik terbesar di Indonesia yaitu PDIP dan Golkar,” kata Airlangga.
Terkait perhelatan Pemilu 2024, PDIP dan Golkar sepakat menjalankannya dengan rasa gembira. Kedua partai ini berkomitmen menghindari segala potensi perpecahan dalam kontestasi lima tahunan tersebut.
Airlangga mengatakan, menang dan kalah dalam Pilpres adalah hal yang biasa. Namun yang paling terpenting adalah agar bagaimana partai politik bisa bekerja bersama untuk mensejahterakan rakyat.
“Itu adalah komitmen Ibu Puan Maharani dan saya selaku Ketua Umum Partai Golkar. Golkar akan selalu menjaga itu dan Golkar juga telah membuktikan dalam kerja sama dengan PDIP terutama dalam pemerintahan di bawah kepemimpinan Bapak Jokowi,” tutup Airlangga. (dafri jh)