Lebaran; Tradisi Mudik dan Syawalan Untuk Keshalehan Sosial

Foto bersama kaum kerabat dan tetangga dalam moment mudik lebaran Idul Fitri 1443 H di Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.

LEBARAN atau Hari Raya Idul Fitri punya arti dan makna yang sangat mendalam bagi umat muslim diseluruh penjuru dunia, setelah melakukan puasa selama satu bulan penuh, dimana setiap amalan kita dilipat gandakan pahalanya oleh Allah SWT, seperti harapan untuk mendapatkan Lailatul Qadr yang pahalanya setara dengan seribu bulan, orang-orang berlomba membagikan takjil (hidangan berbuka puasa),dari masjid hingga perempatan lampu-lampu merah pinggir jalan.

Semuanya bersuka ria, aktifitas Ramadhan itu dilengkapi dengan pemberian zakat fitrah, yang mampu memberikan kepada golongan mustad’afin agar tetap dapat tersenyum bahagia dibulan yang Fitri yaitu Hari Raya kemenangan bagi umat muslim, hari dimana kita berusaha untuk meraih derajat taqwa dan kembali untuk membuka lembaran baru seperti kertas kosong yang perlu diisi dengan amalan-amalan baik persiapan menuju akhirat nanti.

Bacaan Lainnya

Hasil survei Balitbang Jumlah pemudik di Indonesia pada Lebaran 2022 ini diperkirakan sebanyak 85 juta pemudik. Angka yang demikian pantastis itu kiranya dapat memberikan perubahan besar bagi kalangan muslim Indonesia dari kota hingga ke pelosok desa.

Adakah yang bertanya tentang perubahan seperti apa dan bagaimana yang dimaksud ?

Pertama, tentu perubahan sikap dan perilaku kearah yang lebih baik karena Ramadhan adalah bulan tarbiyah untuk menempa diri berlaku adil, jujur, empati dan peduli terhadap sesama. Tentu kita akan merasakan hal yang sama tentang itu dimana dalam berpuasa kita menahan hawa nafsu untuk tidak makan dan minum serta tidak mengedepankan ego dalam berperilaku. Kita harus jujur pada diri dan Tuhan sang Pencipta apakah sebenarnya kita ini sedang berpuasa atau lagi bersandiwara berpura-pura puasa, atau hanya sebatas mendapatkan rasa haus dan lapar tanpa pahala di Sisi Allah SWT karena kita tidak menjaga kualitas ibadah, pasca puasa masihkan kita ingat demikian ini?

Kedua, Antusiasme mudik setiap tahunnya menunjukkan bahwa kita bukanlah orang yang lupa diri, lupa terhadap orangtua, kerabat dan kampung halaman. Ada keinginan untuk silaturrahim, meminta maaf secara langsung, serta takziah mendoakan kaum kerabat di depan pusara orang yang kita cintai, di bulan Syawal yang penuh hikmat ini juga umat muslim melakukan banyak ritual dan kearifan yang berbeda satu sama lainnya untuk terus menjalin hubungan baik terhadap sesama, seperti tradisi Halal bi Halal, Pemberian THR, Menghias Rumah dan Memasak Makanan berupa roti dan kue dari penganan tradisional hingga modern, semuanya untuk menjamu tamu yang dekat maupun jauh disaat lebaran.

Ketiga, Perputaran roda ekonomi tentu sangat terasa di moment-moment Idul Fitri, tidak mentok di kapitalisasi oleh orang-orang kaya saja tetapi setidaknya mengalir ke mereka-mereka yang punya usaha dari kota hingga desa, hampir semua jenis usaha mengalami keuntungan disaat lebaran. Jual beli pakaian, jasa angkutan umum, rental mobil atau kendaraan, buah tangan atau oleh-oleh, objek wisata, sampai tukang parkir meraup keuntungan dari masing-masing jenis usahanya. Bahkan moment lebaran seperti ini mampu mengumpulkan dana ratusan juta hanya dari lelang amal yang dilakukan oleh panitia pembangunan masjid di desa.

Andai saja kita bisa menginvestasikan dana atau keuntungan lebaran ini untuk hal-hal yang lebih produktif bukan konsumtif apalagi eksploitatif maka tentu kita akan mempunyai masa depan yang lebih baik. Investasi lebaran ini tentu tidak hanya sesuatu hal yang bersifat materi tetapi juga sikap dan perilaku menuju shaleh nya seseorang yang tidak hanya manfaat untuk dirinya sendiri tetapi juga manfaat untuk orang lain atau disebut juga Keshalehan Sosial. خير الناس أنفعهم للناس (Khoirunnas Anfa’uhum Linnas).

Hari ini tentu kita sudah bisa berkaca atas diri kita, apakah Ramadhan dan Syawal ini hanya rutinitas dan ritual saja, atau adakah yang tersisa dari taqwa, empati, rasa saling berbagi dan mendoakan terhadap sesama. Bila tidak tentu kita termasuk golongan yang merugi, yang mungkin saja hanya mempertontonkan gaya hidup haus puji, penting untuk disadari bahwa hidup kita bukan sebatas untuk sosial media dari facebook, Instagram hingga tiktok saja.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *