“Yang Menggeram dan Yang Terpendam”
Oleh. Ayub Badrin
MENGHADIRI acara peluncuran kumpulan buku puisi “1000 Tahun Situs Kotta Cinna” sungguh membuat saya bahagia. Pertama karena tempatnya yang ramah. Sungguh suatu tempat yang tenang, hangat dan bahagia.
Acara itu digelar di bawah sekita 6 pohon Cemara laut. Di situlah kursi-kursi disusun dengan meja bulat di depan sana, tenda seadanya. Selembar kain coklat besar membalut level sekian kali sekian. Di situ juga diletakkan tembilar di atas 3 buah alat pembuatnya.
“Di sini tak perlu kali sound,” kata Agus Susilo saat saya bertanya loudspeker yang yang tak menyala. Dan anehnya itu benar. Kita seperti berada di gedung dengan akuistic yang refresentatif. penonton tak usah khawatir tidak mendengar vokal para pengisi acara.
Acara peluncuran buku ini digagas oleh Komunitas Sastra Masyarakat Binjai (Kosambi). Kosambi bekerjasama dengan pemilik Museum Situs Kotta Cinna, Dr Ichwan Azhari untuk membuat buku ini. Dan menurut Ichwan Azhari, ini sangat menarik.
Saya sampai di tempat ini sekitar pukul 12.00 Wib. Waktu itu sudah ada beberapa tamu di antaranya, Ketua DKSU, Baharuddin Saputra dan Penyair Harun Al Rasyid. Kemudian ada Novelis Idris Pasaribu dan Tsi Taura, penggagas Kosambi. Tsi Taura selalu penuh canda tawa menyambut kedatangan tamu-tamu termasuk saya.
Sekali lagi saya harus mengatakan bahwa tempat itu sungguh mengasyikkan. Seperti lorong atau jalam menuju sanggar Teater Rumah Mata. Ada kolam ikan Gurami dan seekor Kura-kura berusia 150 tahun. Satu-satunya yang membuat kurang nyaman adalah aroma kotoran kucing yang menyengat. Mestinya panitia bisa membersihkannya sejak awal.
Sebelum acara dimulai para tamu juga diberi hidangan makan siang yang aduhai. Ada tumis tiram telur puyuh dan petai plus keramahan anak-anak kampung Paya Pasir, Marelan yang direkrut menjadi anggota Teater Rumah Mata dan Ade Wanti yang ramah.
Acara dibuka dengan satu visualisasi puisi karya Tsi Taura. Agus Susilo dan Mameks Sandria dari Kantor Teater Jakarta. “Jangan Kirim Buldozer kemari”. Dan pertunjukan itu menjadi menarik ketika lelaki bertato itu dengan sangat pelan mengangkat sebuah batu. Wajahnya ditutup baju warna hitam.
Icwan Azhari ketika membedah buku ini mengatakan, situs Kotta Cinna menjadi berbeda bila diceritakan oleh penyair lewat puisi-puisinya. Tentu saja penyair-penyair dapat menggambarkan dengan beragam dan tentu saja indah. Berbeda dengan ilmuwan yang akan berbicara secara keilmuan.
“Ditangan penyair pecahan kaca atau sompelan batu akan berbeda pembacaannya dengan ilmuwan. Sejarah Kotta Cinna bisa menjadi sangat luar biasa, tidak kering. Saya lebih percaya pada sastrawan daripada ilmuwan dalam hal membangun cerita Kotta Cinna,” katanya.
Hal senada disampaikan oleh penasihat Kosambi, Dr. Tengku Suhaimi mengatakan antara Abad ke-11 sampai ke-16, situs Kota Cina jadi saksi suatu kawasan perdagangan dunia yang penting. Lokasinya sekarang terletak di kecamatan Medan Marelan.
“Kami percaya, kata-kata akan membuat volume suara membedar dalam telinga kebudayaan. Untuk itu, kami menerbitkan buku 1000 Tahun Jejak Peradaban Situs Kota Cina dalam puisi (Yang Mengeram dari Yang Terpendam) ini. Pada penyair, kami percaya, kata-kata lebih memantulkan kejernihan pada semua arah,” katanya.
Editor antologi puisi, Suyadi San menambahkan bahwa proses pembuatan antologi puisi ini cukup lama dikarenakan beberapa alasan seperti batasan kota cina, imlikasi budaya dan hal lainnya.
“Agak lama saya tidak menyentuh bundelan puisi tentang Situs Kota Cina yang diberikan kepada saya. Ada beberapa hal yang menyebabkannya. Pertama, tentang batasan kata Kota Cina. Kedua, tentang implikasi kebudayaan Melayu dari riwayat keberadaan kota itu. Sebab, saya tidak ingin ada kekeliruan dalam menerapkan sejarah tentang Situs Kota Cina dalam puisi,” katanya.
Suyadi menambahkan antologi ini terdiri dari 95 judul puisi dari 48 penulis.
Selama proses pembuatan buku Ia mengaku banyak menyisihkan beberapa puisi-puisi yang rerata terjebak pada terminologi Pecinan atau geografis Cina di Tanah Tiongkok.
“Saya selaku editor dan kurator final, memilih 95 judul puisi dari 49 orang untuk dimuat dalam buku antologi ini, saya menyisihkan 93 judul puisi dan sepuluh orang penulis lainnya.”
“Puisi-puisi tersisih itu rerata terjebak pada terminologi Pecinan atau geografis Cina di Tanah Tiongkok. Selain itu, gagal mengeksekusi referen Kota Cina dan sejumlah jejaknya menjadi idiom-idiom puitik. Ada juga yang gagal membangun puisikarena sebatas menulis ulang data yang didapat dari dunia maya,” tuturnya seperti dikutip dari tribunmedan.com.
Pemernitan kumpulan puisi ini juga rada unik. Panitia penyeleksi tiba-tiba memilih 3 puisi terbaik dari kumpulan puisi ini. Tiga puisi terbaik itu ditulis oleh Juhendri, Ayub Badrin dan Ronal Rajaguguk.
Satu pembicara lainnya adalah Tanita Liazna. Menurutnya puisi-puisi di dalam buku ini dapat dibaca dengan baik. Selain bercerita tentang situs Kotta Cinna juga dapat terbaca beberapa penyair yang marah terhadap penguasa yang tidak peduli terhadap nilai-nilai peradaban.
Sore pun merambat. Kami pamit pulang. Tsi Taura dalam pidatonya mengatakan Kosambi akan membuat buku yang ke 2. Mungkin tidak lagi “yang mengeram dari yang terpendam. Tetapi “yang mengeram mulai menggeram”. Entahlah…