KKP Tetapkan Pengakuan dan Perlindungan Bagi 22 Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

JAKARTA – Fasilitasi pengakuan dan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi komitmen Kementerian Kelautan dan Kelautan (KKP). Hal tersebut telah dilakukan KKP sejak tahun 2016 melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL).

Selama 5 tahun ini, Ditjen PRL KKP telah menginventarisir sejumlah 32 komunitas di 5 Provinsi yang teridentifikasi sebagai MHA, 22 komunitas diantaranya telah ditetapkan melalui 18 peraturan/surat keputusan Bupati/Walikota. Selain itu, dalam rangka penguatan dan pemberdayaan MHA, KKP juga telah menyalurkan 45 paket bantuan pemerintah untuk 21 komunitas MHA, 2 diantaranya telah menerima program peningkatan kapasitas di bidang perikanan dan wisata bahari.

Bacaan Lainnya

Pada momentum Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia 9 Agustus 2021, sejalan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, KKP terus berkomitmen dan melanjutkan program perlindungan dan penguatan MHA, guna mencapai MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang kuat, sejahtera, dan mandiri .

Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Pamuji Lestari, yang akrab disapa Tari menjelaskan pengakuan terhadap keberadaan MHA di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat yang telah tertuang pada Pasal 18B Ayat 2 Amandemen UUD 1945 Kedua yang disahkan pada Agustus 2000.

“Konstitusi kita mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelas Tari dalam keterangannya di Jakarta.

Mengenai pengelolaan ruang laut oleh MHA, Tari juga menegaskan hal tersebut tidak hanya dilakukan melalui kontrak sosial informal, tapi telah berada dalam tahap pengakuan dan penguatan secara tertulis. Keberadaan dan pelibatan MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara tegas telah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.

Sementara itu, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P4K) Muhammad Yusuf menerangkan bahwa sesuai UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, masyarakat adat merupakan bagian dari masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengakuan ini dilakukan sebagai upaya pelestarian eksistensi masyarakat adat dan hak tradisionalnya seiring dengan perkembangan zaman.

“Pelibatan adat sebagai aset budaya terus dikembangkan dengan disahkannya perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 menjadi UU Nomor 1 Tahun 2014. Nomenklatur masyarakat adat disempurnakan menjadi Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan memiliki kewenangan penuh atas pengelolaan ruang laut di wilayah kelola adatnya serta berhak mengusulkan alokasinya dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K),” jelas Yusuf.

Selain itu, terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA, membuka jalur yang jelas dalam mewujudkan janji negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA. Dalam peraturan ini, Gubernur dan Bupati/Wali Kota sesuai kewenangannya dan dengan membentuk Panitia MHA Kabupaten/Kota, melakukan pengakuan dan perlindungan MHA.

Peraturan tersebut diperkuat dengan terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola MHA dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Dalam hal Bupati/Walikota belum melaksanakan identifikasi dan pemetaan, serta belum menetapkan MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di wilayah kewenangannya, KKP dapat memfasilitasi pengakuan dan perlindungan MHA. Hal ini lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Nomor 14 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Fasilitasi Penetapan Wilayah Kelola MHA,” lanjutnya.

Terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang semakin mempertegas kedaulatan MHA terhadap wilayah kelola adatnya yaitu Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dapat diberikan di wilayah MHA setelah mendapat persetujuan MHA.

Yusuf juga mengungkapkan beberapa tantangan masih dihadapi dalam proses pengakuan dan perlindungan MHA antara lain masih kurangnya sinergitas antar pemangku kepentingan terkait, belum teralokasinya wilayah ruang laut (wilayah kelola adat) MHA dalam Rencana Zonasi, peningkatan kedaulatan dan kapasitas lembaga MHA dalam menjaga wilayah dan mengelola nilai potensi sumber daya kelautan dan perikanan di wilayahnya, serta masih kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki.

“Mengatasi kendala ini, KKP menyiapkan sejumlah strategi antara lain dengan melakukan pendampingan penetapan MHA melibatkan pemangku kepentingan terkait, termasuk masyarakat adat itu sendiri, pembinaan kelembagaan MHA, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia MHA dan pengembangan usaha masyarakat berbasis potensi, serta pemberian bantuan sarana dan prasarana,” pungkas Yusuf. (red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *