Kehilangan Tradisi dan Kehilangan Harga Diri

Oleh. Anto Narasoma
Kehilangan

Karya. Listin Wahyuni

Pada tawa yang pecah
pada tuturan yang renyah
aku mencari buhul
yang mengikat abjad dan kata-kata
agar tetap ingat bahasa senyap
yang menggerimiskan khusyuk
menikam dan menusuk
“duhai jiwa di kedalaman
sejatinya kudengar sedumu tertahan
duka kehilangan, duka kerinduan..”

Depok, 23 Juli 2019

KEBIASAAN, tradisi dan budi daya manusia, kadang-kadang mulai dilupakan. Sikap ini, tanpa sadar dilakukan seiring dengan perubahan waktu yang berjalan.

Misalnya, dulu, masyarakat kita pernah hidup secara tradisional –ketika gigi belum digosok dan dibersihkan– kita tidak segan-segan membersihkannya dengan arang. Saat itu, harga sikat dan tapal gigi banyak yang tak mampu menjangkaunya.

Maka tidak heran apabila banyak masyarakat menggunakan arang yang dihancurkan untuk membersihkan dan memutihkan giginya.
Apakah tradisi itu sempat menjadi ingatan kita?

Membaca puisi Listin Wahyuni bertajuk “Kehilangan”, ada ruang-ruang besar untuk mengingat dan menggali tradisi lama.

Seperti diungkap Derek Walcott, penyair berdarah campuran Afrika, Belanda dan Inggris, kehilangan satu tradisi bagi manusia, ia seperti kehilangan nyawanya.

Sebagai manusia yang hidup di St Lucia, satu pulau di gugusan pulau Antila Kecil di Karibia, banyak dihuni orang-orang India, Afrika dan Eropa.

Derek Walcott seperti kehilangan jati diri tatkala menghadapi kehilanhan akar budaya aslinya.

Listin Wahyuni, dengan perasaan kewanitaan dan keibuannya, begitu perhatian dengan kaidah “kehilangan” nilai-nilai kesejatian puitik.

Pada larik terakhir dari puisi “Kehilangan” Listin menyebutkan, ….”duhai jiwa di kedalaman sejatinya/kudengar sendumu tertahan duka kehilangan/ duka kerimduan..”

Tampak jelas perasaan yang mencuat secara esetik tentang kehilangan kehalusan bahasa dan tata nilai kata-kata bijak sebagai tradisi kebiasaan masyarakat Jawa, Bugis dan Makasar.

Karena itu perlu adanya pembinaan secara esensi ke pada generasi muda agar mereka tidak melupakan “bahasa senyap” sebagai tradisi santun.

Seperti dikemukakan pemerhati bahasa dan sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Nafron Hasjim, setelah tradisi masyarakat dilakukan dalam tiap kehidupannya, masyarakatlah yang mempunyai kewenangan untuk menikmati, menilai dan menjaganya agar kearifan dan kebiasaan tradisi tidak hilang begitu saja. (Majalah Analisis Kebudayaan Nomor III tahun II Terbitan Balai Pustaka Jakarta hal..57 1982).

Karena itu Nafron mengharapkan agar tiap kecil tradisi yang hidup di masyarakat perlu dihidupkan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Meski Listin tidak fokus ke kritik sosial tentang “kehilangan” tradisi bahasa jiwa yang arif dan halus, namun puisi “Kehilangan” tentu mengarah ke kesalan hatinya (menikam dan menusuk..).

Dari alur bahasa puitik yang ditulisnya, kesedihan itu tidak ia ungkap dengan kecengengan bahasa, tapi dengan isyarat konotatif dijelaskannya secara transparan bahwa kesedihan dan tangisan hanya ia prefikasi dengan kata ..menggerimiskan khusyuk..

Meski Listin bagian terkecil dari masyarakat sekitarnya, paling tidak ia begitu peduli dengan hilangnya tradisi santun “bahasa senyap”.

Meski kita ini seperti serpihan tak terlihat dari timbunan pasir kehidupan masyarakat, namun kita mempumyai kewenangan untuk memperhatikan, menjaga dan mengembangkan tradisi yang dilalukan sejak zaman nenek moyang kita dulu.

Dengan demikian, kearifan lokal atas tradisi kecil masyarakat kita akan terpelihara dengan baik

Dengan perhatian itu, setidaknya kita akan menjadi sebutir pasir yang berkelip di antara pasir-pasir mati tak bercahaya setitik pun.

Pusi Listin Wahyuni bertajuk “Kehilangan” ini satu bentuk struktur karya sastra memuat protes sosial atas kehilangan tradisi kecil tentang kesantunan berbahasa dan bersikap halus ke pada sesama masyarakat. (*)

Tirta Bening, 23 Juli 2019

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *