Oleh Hazrin Marydha
Di masa kanak-kanak saya mengenal sejumlah jenis buluh alias bambu. Maklum, di kampung kami di wilayah Batu Bara (dahulu masih Kabupaten Asahan) memang banyak sekali buluh, baik yang sengaja ditanam maupun terutama yang tumbuh sendiri di lahan-lahan warga.
Tak heran, sebab buluh atau bambu memang termasuk dalam keluarga rumput-rumputan. Bisa “tumbuh sendiri”.
Kebiasaannya, begitu mulai tumbuh maka dari sebatang beranak pinak hingga menjadi serumpun yang bisa terdiri dari puluhan bahkan ratusan batang. Bagi keluarga di kampung, buluh muda yang lazim disebut rebung, adalah salah satu bahan untuk digulai menjadi teman nasi. Rasanya gurih dan sedaaap.
Ada ‘Buluh Lemang’ yang kegunaannya terutama untuk memasak lemang. Dahulu, di kampung setiap menjelang hari raya Idul Fithri salah satu kebesaran warga adalah memasak lemang. Ada ‘Buluh Tali’, kegunaannya antara lain untuk dipilin menjadi tali yang memang dahulu banyak digunakan warga masyarakat dalam keperluan keseharian.
Ada pula ‘Buluh Betung’ yang dapat digunakan menjadi meriam bambu, khususnya untuk meramaikan suasana di masa selama bulan puasa hingga dalam suasana hari raya. Banyak pula yang menggunakannya sebagai bahan baku tepas untuk dinding rumah atau bangunan lainnya, termasuk untuk diperdagangkan.
Ada pula ‘Buluh Cina’, biasanya ditanam bersusun menjadi pagar lahan warga. Kanak-kanak sangat suka dengan buluh jenis ini, sebab dapat digunakan sebagai ‘letup-letupan’ menggunakan peluru dari bunga jambu atau buah senderai untuk bermain perang-perangan. Juga karena tipikalnya yang kecil lurus dan meruncing ke ujung, sangat lazim pula digunakan sebagai joran pancing.
Ada lagi ‘Buluh Kuning’. Jenis ini sangat istimewa sesuai pula dengan tampilannya yang indah. Biasanya batang buluh ini berwarna kuning dengan garis-garis warna hijau.
Buluh ini banyak digunakan oleh warga sebagai ‘alat penangkal’ terhadapi berbagai gangguan makhluk halus, atau digunakan sebagai bahan mediasi untuk ‘menolak bala’. Karena itu, banyak juga buluh ini disebut sebagai ‘Buluh Obat’.
Tentu banyak lagi jenis-jenis buluh yang saya tidak hafal namanya bahkan mungkin belum pernah melihatnya. Misalnya buluh yang dijadikan bahan alat music angklung, saya belum tau buluh apa namanya. Yang saya tau, di kampung kami sekarang memang keberadaan buluh sudah semakin jauh berkurang, bahkan untuk ‘Buluh Cina’ sudah sangat sulit menemukannya.
Kamis barusan kenangan tentang buluh-buluh ini berpendar di benak, ketika saya (bersama sejumlah pengurus PWI Sumut dan pimpinan media massa lainnya) mengikuti kegiatan di sebuah lokasi ‘berhutan buluh’. Namanya memang “Bamboo Forest” (hutan buluh).
Entah apa jenisnya tetapi batang-batang buluh berdiri tegak secara beraturan dan rumpun-rumpun yang terpisah-pisah tersusun rapi. Menurut pemandu wisata di lokasi itu, buluh-buluh itu memang sudah ada sejak lahan tersebut dikelola menjadi sebuah obyek wisata.
“Bukan sengaja ditanam. Hanya setelah dikelola, ya memang dirawat agar rapi begini,” kata lelaki muda yang saya lupa namanya.
Dan, tentu saja di suatu lokasi yang terlihat bahkan terasa asri, tak maulah awak ketinggalan dari kawan-kawan lain untuk berfoto. Dulu di kampung, di belakang rumah pun banyak rumpun buluh tapi tak pernah awak berfoto di bawahnya. Jadi, mengapa sekarang tidak?Kelas Puisi BBSU Marakkan Gerakan Literasi Sekolah. (**)