MALAM berkabut di negeri orang bunian. Puncak tebing yang rimbun miliki keindahan yang tiada tanding. Bukit yang curam tersebut yang memiliki kemiringan 90 derajat. Dihiasi dengan bebatuan putih menambah seram jalan setepak. Jalan tersebut sangat berbahaya dilewati siapapun. Kecuali binatang melata atau ungas.
Puncak bukit tersebut ditutupi kabut tebal. Jarak pandang akan kian pendek dan susah untuk melewati jalan setepak. Di lembah jauh disana, beberapa desa terlihat kecil. Bagikan titik di kanvas raksasa.
Dari balik bebatuan Rakat berjalan dengan mengendap-ngendap. Ditengah halimun tebal dimalam hari, Rakat harus super hati-hati dalam melangah. Jika tidak waspada, bisa saja hulubalang Ruwondo melihatnya. Jika itu terjadi, bisa celaka semuanya. Kepalanya menjadi taruhannyanya, namun tidak ada cara lain, kecuali mengambil resiko.
Bila Rakat tergelincir, maka ia akan terjatuh ke lembah sana. Bukan dirinya takut mati, tapi semua rencana akan buyar. Jika ia selamat dan rencananya diketahui, maka Ruwondo akan memenggal kepala Rakat. Agar semuanya bisa aman, maka Rakat berjalan pelan agar tidak tergelicir.
Tidak berapa lama, Rakat menuruni jalan yang berkelok dan terjal. Di sebuah dataran yang tidak terlalu luas, beberapa dua penjaga nampak siap siaga. Raka bersembunyi di balik pepohonan yang rindang. Dengan berjalan mengendap-ngendap mendekati penjaga pintu gua yang menuju ke lorong penjara.
Dari balik bebatauan muncul Rakat. Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah botol kecil, lalu membuka dan meniupkan ke arah penjaga. Seketika penjaga pun melorot kebawah dan duduk tertidur dengan nyenyaknya. Setelah situasi aman, Rakat pun segera bergerak dan masuk ke dalam gua melewati lorong-lorong yang gelap dan apek. Kedatangannya ke penjara hanya satu, yakni menemui Handoyo, kakek buyut Marlina. (***)
Pondok Melati,
Regardo Sipiroko
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com
