Kabut Tanah Tembakau (9)

HUJAN mulai reda. Marlina dan Hamzah telah selesai makan malam. Restoran Tip Top mulai didatangi para tamu. Udara dingin dari luar terasa masuk sebab restoran tidak mempunyai sekat atau pintu kaca. Antara trotoar dan halaman restoran menyatu sejak berdirinya bangunan restoran.

Marlina ingin segera meninggalkan Restoran Tip Top, tapi Hamzah masih menikmati es krim berlapis cake dan susu. Marlina ingin menikmati malam di kota Medan menikmati udara segara di luar sana seusai hujan.

Bacaan Lainnya

Ketika Marlina melirik ke dinding, terpajang foto-foto kenangan kegiatan restoran Tip Top sejak dulu, sebelum merdeka dan setelah merdeka. Marlina lama memperhatikan foto tentara sekutu ketika melintas di depan Restoran Tip Top pada tahun 1947.

“Mau nginap di hotel mana?” tanya Hamzah.
“Saya ingin di rumah, bukan di hotel. Guest House, misalnya!”
Lama Hamzah berpikir. Bibir Hamzah belepotan susu. Marlina memberikannya tisu.
“Tidak masuk malam ini?” Tanya Marlina.
“Aku libur hari ini,” jawab Hamzah.
“Enak dong kalau editor media on line, tak mesti harus ke kantor,”
“Aku repoter, Mar!” Kata Hamzah sambil menyeruput es krimnya.

Aroma gadis berbusana Melayu kembali merebak kembali. Alis mata Marlina yang natural dan indah naik sebelah. Matanya tajam melirik ke seluruh penjuru. Apa lagi yang terjadi, pikir Marlina. Melihat mata Marina yang liar, membuat Hamzah membalikkan tubuhnya ingin mengetahui apa yang dilihat Marlina.

Mata Hamzah menangkap seseorang yang dikenalnya. Duduk sendiri menghadap ke jalan, pandanganya menembus rumah Tjong A Fie sembari menarik rokok karetek dengan pipa gading dalam-dalam. Mengenakan rompi sweater bahan rajut tebal dengan warna basic hitam kombinasi putih dan merah. Di atas meja, di sebelah kopi hangat tiga buku ‘Gelas Gelas Kaca‘, ‘Gesang: Mengalir Meluap Sampai Jauh‘ dan ‘Bukan Testimoni Susno‘ tergeletak begitu saja.

Hamzah melambaikan tangannya kepada sosok tersebut. Sosok yang dikenal parlente itu tersenyum, sembari melambaikan tanganya.

“Dia Pimpinan Redaksimu?” tanya Marlina.
“Bukan! Dia Bapak IzHarry Agusjaya Moenzir. Mantan wartawan, penyiar radio dan TV dan penulis buku. Pak Iz, satu angkatan dengan ayah saya di Harian Waspada. Dia juga yang menulis buku Rinto Harahap,” kata Hamzah.
Marlina tersenyum. Sejurus kemudian Marlina memanggil pelayan. Meminta bill kepada pelayan dan semua diselesaikan Marlina dengan menggesekkan kartu debetnya.

Ketika hendak bangkit dari kursi rotan, Marlina masih merasakan gadis cantik berbusana Melayu masih berada di sisinya. (***)

Pondok Melati

Regardo Sipiroko

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *