SEPANJANG hari Hamzah memikirkan Marlina. Perasaan Hamzah gundah gulana sejak Marlina pergi entah kemana. Tidak tahu berbuat apa. Apa yang dikerjakannya semuanya serba salah. Hamzah tetap berkeyakinan satu saat akan bertemu dengan Marlina.
Selepas dari kantor, Hamzah melitas di kawasan Kesawan, langsung darahnya berdesir. Malam ini, Hamzah kembali melewati Restoran Tip Top. Seketika kenangan bersama Marlina langsung melintas dipikirannya. Makan malam yang indah. Bahkan makam malam yang paling indah selama hidup Hamzah. Tidak sangkanya begitu cepat berlalu kenangan bersama Marlina.
Malam itu Marlina menikmati makan malam bersama Hamzah dengan lahap. Ia menikmati menu Uitsmijster atau roti telor lidah lembu dan Bitterballen atau semacam perkedel isi daging sapi. Bagi Hamzah bukan saat makannya yang dikenang, tapi suasana yang begitu romantis yang membikinnya selalu terkenang.
Ah, kenangan romantis itu selalu membayanginya. Kalau Hamzah tidak cepat mengerem mobilnya pasti pengendara motor yang di depannya sudah ditabraknya. Kejadian kemarin terulang kembali. Nyaris menabrak orang. Kejadian serupa bisa terjadi lantaran pikiran Hamzah selalu ke Marlina.
Hamzah langsung konsentrasi membawa mobilnya. Jika tidak, ia akan bisa kecelakaan di jalan. Ketika melihat spion Hamzah baru sadar dua sepeda motor dan sebuah mobil sejak dari dari Kampung Baru telah mengikutinya. Juga salah satu motor yang tadi nyaris ditabraknya. Hamzah sempat mengenali pengendara sepeda motor yang membuntutinya. Mereka adalah para preman yang sering berkelahi di jalanan.
Hamzah mulai was-was. Urusan apa preman-preman itu membuntutinya, pikir Hamzah. Masalah tulisankah? Pernah terjadi kantor redaksi tempat Hamzah bekerja diserang sekelompok orang. Mereka diduga preman yang disuruh pihak tertentu. (***)
Pondok Melati,
Regardo Sipiroko
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com