SEDANG menikmati santap siang tiba-tiba pintu rumah diketuk. Hamzah dan Rabiha saling pandnag. Keduanya berharap Marlina yang mengetuk pintu. Kedua senangnya bukan main. Rabih langsung membuka pintu denga tergopoh-gopoh. Sampai kakinya tersandung kaki kursi dan terjatuh.
Begitu pintu dibuka, betapa terkejut Rabiah. Di depan rumah berdiri dua orang pria yang tidak dikenalnya. Kedua polisi berpakaian preman. Ketika melihat di halaman beberapa polisi sudah mengepung rumah. Rabiah panik.
“Siang kak. Apakah Hamzah ada?” kata seorang polisi berpakaian preman.
Sementara polisi yang satu berjaga-jaga.
“Ada. Mari silahkan masuk,” kata Rabiah.
Hamzah yang lagi makan kaget melihat dua orang polisi berpakaian preman masuk ke dalam rumah. Merasa namanya disebut-sebut, Hamzah langsung berdiri.
“Kami dari kepolisian. Saudara Hamzah ikut kami ke kantor,” kata polisi berpakain preman mendekati Hamzah.
“Boleh saya habisi dulu makan ini sebentar,” kata Hazmah.
Boleh! Silahkan. Kami tunggu,” ucap polisi.
Setelah selesai makan, Hamzah ke ruang tamu dan mendekati kedua polisi preman itu. Dengan tenang Hamzah bertanya, soal apa membuat polisi ingin membawanya ke kantor polisi. Sementara Rabih duduk dengan gugup. Wajah yang pucat. Kaki Rabiah memetaran.
“Ada masalah apa saya dibawa ke kantor polisi?” tanya Hamzah.
“Kamu ikut saja dulu. Nanti kami akan jelaskan di kantor polisi,” ucap polisi.
“Tapi saya ingin tahu, soal apa?” ucap Hamzah dengan sopan.
“Saudara juga nanti akan tahu,” kata polisi.
Hamzah langsung dibawa oleh dua orang polisi. Empat polisi yang berjaga di halaman rumah Melayu berjaga-jaga ketika Hamzah digiring keluar menuju mobil.
Rabiah masih panik. Tak bisa berkata apa-apa kecuali mendang Hamzah digiring polisi masuk ke dalam mobil. (***)
Pondok Melati,
Regardo Sipiroko
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com