Kabut Tanah Tembakau (77)

SETIBA di tanah Air dari Suriname pasca Prokramasi Kemerdekaan, Sarni dan Tugimin langsung pulang kampung halamannya di Ponorogo, Jawa Timur. Sarni tidak ingin lagi kembali ke Tanah Deli, tanah penuh kenangan. Jika kembali ke Tanah Deli, Sarni tidak ingin luka hatinya tergores lagi mengingat suaminya Handoyo.

Bagimana mungkin Sarni kuat jika melihat suaminya Handoyo tiba-tiba muncul kembali dalam kehidupannya. Sementara ia sudah dipersunting oleh Tugimin dan mendapatkan seorang anak laki-laki yang sangat mirip dengan bapaknya. Dari Ponorogo Sarni secara diam-diam sering mencari tahu kabar suaminya, Handoyo kepada sanak familinya yang datang dari Tanah Deli.

Bacaan Lainnya

Setiap bertanya, selalu saja Sarni mendapatkan ketidakpastian tentang suaminya. Selalu saja jawabnya sama, tidak tahu! Tidak saja Handoyo, kuli kontrak lainnya yang bersamanya pun tidak ada satu orang pun yang kembali. Semuanya dinyatakan hilang seperti ditelan bumi.

Bagi Sarni ini bukan persoalan cinta, tapi persoalan tanggungjawabnya sebagai istri yang tetap menjaga dan merawat hasil buah cintanya dengan Handoyo, yakni Lukman Herry. Paling tidak, Sarni ingin memberitahukan kepada Lukman Herry, bahwa Handoyo adalah ayah kandungnya.

Setelah keluar dari hutan. Sarni dan Tugimin diselamatkan, seorang nelayan Percut yang bersimpati dengan nasib keduanya. Nelayan kagum dengan keberanian Sarni yang menewaskan Mandor. Sang nelayan sangat benci dengan kolonialisme. Itu sebabnya, Sarni dan Tugimin bisa bersembunyi beberapa hari di rumahnya.

Niatnya ingin ke Belawan, namun takut terlacak, sang nelayan membawa Sarni dan Tugimin ke Tanjung Balai. Di Tanjung Balai, Sarni dan Tugimin hidup sebagai nelayan. Setelah lima tahun, situasi sudah aman dan tidak dicari lagi oleh opsir Belanda, Sarni dan Tugimin lewat pelabuhan Belawan hendak pulang ke Ponorogo dengan kapal api.

Namun sial bagi keduanya, kapal api yang mereka tumpangi tidak menuju ke pulau Jawa, tapi langsung ke Suriname. Ternyata kapal api yang membawa kuli kontrak dari Jawa bukan untuk perkebunan tembakau di Tanah Deli, tapi untuk menjadi kuli di Suriname. Kapal api singgah di Belawan hanya untuk mengangkut tembakau menuju Jerman. Kemudian lanjut ke Suriname.

Sarni dan Tugimin pasrah saja kemana kapal api berlabuh. Yang penting, bisa selamat dari kejaran opsir Belanda. Di kapal api Sarni dan Tugimin mendapatkan saudara sekapal yang senasib menjadi kuli di Suriname.

Kuli yang di bawa dengan kapal api itu, mempunyai suatu ikatan rasa persaudaraan yang sangat bersatu. Para kuli dari pulau Jawa ke Sumatera dan berakhir di Suriname menggunakan transportasi kapal laut, berikrar dengan menyebut dhulur tunggal sekapal, saudara satu kapal. Saudara senasib sepenanggungan. Satu rasa seduluran untuk semua. (***)

Pondok Melati,

Regardo Sipiroko

*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *