DEWI Mutiara dirundung kesedihan yang mendalam. Tiga bulan lebih sudah Marlina tidak pulang. Siang dan malam Dewi Mutiara memikirkan Marlina yang tidak tahu dimana rimbanya. Kalau memang sudah meninggal, Dewi Mutiara ingin tahu dimana kuburannya.
Sejak dua minggu lalu, Dewi Mutiara kurang konsentrasi mengurusi kerjaannya. Di kantor Dewi Mutiara lebih banyak termenung. Mardali Herry pun meminta Dewi Mutiara untuk istirahat di rumah. Dewi Mutiara menolaknya. Ia merasa akan kebih kacau lagi bila tidak beraktifitas. Pikirannya akan selalu ke Marlina.
Dewi Mutiara meminta suaminya untuk menggelar konferensi pres terkait putri satu-satunya Marlina hilang dan kini belum ditemukan. Agar masyarakat ikut mencari Marlina. Jelas keinginan Dewi Mutiara ditolak Mardali Herry.
Ada dugaan kemungkinan penjahat yang melakukan penculikan terhadap Marlina dengan tutuntan agar Mardali Herry memberikan imbalan uang tebusan ratusan miliar. Tapi tak ada satu pun penjahat yang menghubungi lewat seluluernya.
Jika ini strategi dari lawan politik, tidak ada yang meminta Mardali Herry mundur sebagai bakan calon Gubernur DKI Jakarta. Atau melakukan serangan lewat media. Pihak kepolisian pun belum mendapatkan kepastian tentang nasib Marlina.
Mardali Herry sempat bimbang, apakah harus meneruskan pencalonanannya sebagai bakal calon Gubernur DKI dalam Pemilihan Kepala Daerah atau mundur. Tim sukses dan relawan Mardali Herry terus mendorong Mardali Herry agar tidak mundur. Bahkan kian bersemangat mendukungnya Menurut survei oleh lembaga survei elektabilitas Mardali Herry masih berada di atas calon lainnya.
Konsultan politik Mardali Herry memintanya agar tetap tutup mulut terkait hilangnya Marlina. Jika nyamuk pres tahu, maka elektabilitas Mardali Herry akan melorot.
Sebab, isu Marlina hilang akan merambat kemana-mana. Pengamat politik akan mengkritisi Mardali Herry sebagai orang tua tidak mampu menjaga keluarganya.
Maka akan viral di media sosial sosok Mardali Herry, tidak mampu mengurus keluarga, tapi mau mengurusi orang banyak. Apa mungkin Mardali Herry akan mampu mengurus puluh juta penduduk DKI Jakarta.
Alasan elektabilitas inilah membuat Mardali Herry mendam perasaannya. Sebagai seoarang ayah, Mardali Herry juga terpukul dengan hilang Marlina. Meski begitu, mencoba tetap tegar, walau hantinya remuk-redam. (***)
Pondok Melati,
Regardo Sipiroko
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com