Kabut Tanah Tembakau (6)

JELANG Magrib ketika Marlina dan Hamzah memasuki perbatasan Kabupaten Deli Serdang dengan Kota Medan. Marlina merasakan aroma wangi dengan kekuatan magis di pesawat menyelinap masuk ke hidungnya yang mancung. Tapi aroma itu tidak sekeras saat di pesawat, sayup-sayup sampai. Sejak tiba di tanah Sumatera naluri kebatinan Malina kian terusik. Merasa aneh namun belum bisa menggambarkannya.

Hamzah menikmati aroma parfum Marlina yang melintas di hidungnya. Hamzah juga merasakan wewangian magis menusuk sukma. Meski begitu, Hamzah merasakan susana semakin segar. Tidak sopan jika bertanya merek parfum kepada orang yang baru bertemu. Seumur-umur Hamzah baru sekali ini mencium aroma yang begitu lembut, segar dan semerbak. Membikin imajinasi melayang entah kemana.

Bacaan Lainnya

Sejak Bandara Internasional Kuala Namu resmi beroperasi, menggantikan Bandara Polonia Medan, agak terasa jauh dari pusat kota jika datang dan pergi dengan pesawat. Marlina dan Hamzah lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Keduanya merasakan kalau di bangku belakang ada yang duduk. Berulang kali Hamzah melirik spion, namun tak melihat sesuatu.

“Kita kemana dulu?” kata Hamzah memecah kesunyian.
“Tip Top! Saya ingin ke sana,” kata Marlina.

Hamzah terkejut mendengarnya. Tak disangkanya Marlina mengetahui restoran khas Eropa yang sudah berdiri sejak 1929 di kota Medan. TipTop Restaurant menjadi restoran paling legendaris di kota Medan. Awalnya, restoran ini hanya menjadi tempat berkumpulnya orang Belanda untuk menikmati sarapan.

“Wah, tahu dari mana Restoran TipTop?”
Marlina tersenyum. “Dari Bang Tatan Daniel,” jawab Marlina.
“Mantan Kepala Anjungan Sumut di TMII itu kah?”
“Ya. Hamzah mengenalnya?”
“Seniman mana di Sumut ini tak mengenal Bang Tatan Daniel. Dia penggiat seni yang luar biasa,” kata Hamzah.

“Saya bertemu tiga kali dengannya. Dia banyak cerita tentang sejarah perkebunan tembakau di Deli. Budaya lokal kian terpinggirkan. Termasuk restoran Tiptop. Ceritanya soal Tiptop bikin saya jadi kepingin menikmati menunya yang khas,” kata Marlina.
Hamzah semakin terpesona dengan Marilina. Dalam hati Hamzah berkata; harus berhati-hati dengan Marlina. (***)

Pondok Melati

Regardo Sipiroko

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *