REMBULAN terang menderang. Sinar lembutnya jatuh pekarangan rumah Melayu. Tanaman kembang Rabiah terlihat disapu cahaya bulan. Suara-suara malam terdengar diantara suara kenderaan yang melintas di jalan raya.
Selepas Magrib Marlina duduk di kursi malas dari rotan tua di halaman rumah. Marlina memandang ke halaman yang ditubuhi kembang Melati, Bunga Kembang Sepatu, Lidah Buaya, Tanaman Kuping Gajah dan tanaman Pandan. Angin sepoi yang melintas membuat malam menjadi nyaman.
Rabiah keluar dari dalam rumah dan duduk di samping Marlina. Dengan pelan Rabiah mengajak Marlina makan malam yang sudah dihidangkannya di meja makan. Tanpa basa-basi Marlina berdiri dan masuk ke ruang tengah disusul oleh Rabiah.
Marlina makan dengan lahap. Baru kali ini dirasakannya makan rumahan yang berselara dengan lauk ikan gembung ditauco dan sayur bening. Marlina belum masih segan menyentuh sepiring salad, yakni paduan sayur segar beserta beberapa bahan lainnya, kemudian disiram saus khusus. Salad ini mirip gado-gado, lotek, karedok, atau rujak.
Rabiah memahami keraguan Marlina. Lalu mengambilnya dan menyerahkannya kepada Marlina.
“Ini salad ala masyarakat Melayu Deli. Anyang namanya. Ayo coba,” kata Rabiah sambil menyendok anyang ke piring Marlina. Marlina mencicipinya, langsung lidahnya merasakan sensai anyang ketika dikunyah.
“Rasanya renyah dan gurih,” puji Marlina. Rabiah senang mendengarnya.
“Ini menu langkah. Anyang ini khusus kakak buat untuk Marlina,” ucap Rabiah.
“Oh ya kak! Terima kasih banget!” kata Marlina sambil makan anyang dengan lahap.
Usai makan Marlina ke kamar untuk beristirahat meski malam belum terlalu larut. Di tempat tidur, Marlina kembai mengingat hidangan anyang Rabiah. Menu anyang tak sembarang waktu disajikan.
Biasanya menu anyang dihidangkan saat hari tertentu seperti kenduri atau menyambut tamu dan lain-lain. Benarkah Rabiah menghidangkan anyang untuk menyambut Marlina. Ketika makan anyang tadi, Marlina merasakan sesuatu yang aneh. Seketika udara menjadi wangi dan sejuk dan melihat bayang pada dua kursi kosong duduk seperti ikut menikmati menu anyang.
Marlina duduk di kasur bersandarkan dinding papan. Tiba-tiba angin berhembus, meski pintu dan jendela tertutup rapat. Aroma semerbak kembali penuhi udara ruangan. Dua bayang melintas-lintas di hadapannya. Putih seperti asap. Marlina seperti melayang. Ruhnya seakan ingin mengembara. Sebagaimana sore tadi di Simpamg Jodoh menggembara ke tahun 1875 menyaksikan leluhurnya. (***)
Pondok Melati
Regardo Sipiroko
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com