ROY berharap Anton dan Edison bisa segera menemukan Marlina di kota Medan. Bukan soal ia sudah bayar mahal dengan Anton dan Edison, tapi ini soal harga diri. Bagimana mungkin Roy tak bisa menemukan calon istrinya di kota Medan. Tidak ada masalah yang tidak selesai bagi Roy. Sebesar apapun masalah itu.
Roy masih menikmati malan malamnya. Masih di kursi yang tadi sendiri. Hujan sudah redah. Restotan sudah mulai dipenuhi oleh anak muda. Di luar sana jalan mulai macet. Suara becak motor berseliweran disela-selan angkot dan mobil. Suaranya terdengar nyaring.
Keberadaan Merdeka Walk telah merusak kawasan Lapangan Merdeka, Medan yang sejatinya milik rakyat dan bukan tempat bisnis. Namun dalam satu dasawarsa telah menjadi pusat kuliner modren. Tentu telah merusak sejarah dimana di kawasan Lapangan Merdeka banyak bangunan peninggalam kolonial Belanda. Ada ke Kantor Pos Medan yang dibangun 1911.
Lapangan Merdeka merupakan sebuah alun-alun di Kota Medan. Letaknya tepat di pusat kota, dan merupakan titik nol Kota Medan. Lapangan Merdeka dikelilingi berbagai bangunan bersejarah dari zaman kolonial Hindia Belanda, di antaranya Kantor Pos Medan, Hotel De Boer (Dharma Deli), Gedung Balai Kota Lama dan Gedung de Javasche bank (Bank Indonesia). Di sekelilingnya juga ditanami pohon trembesi yang sudah ada sejak zaman Belanda.
Alun-alun ini direncanakan pembangunannya sejak 1872, sejalan dengan kepindahan Kesultanan Deli dan pusat administrasi bisnis 13 perusahaan perkebunan dari Labuhan Deli ke Medan. Di kawasan itulah terjepit Merdeka Walk.
Suara dering dari selulernya berbunyi. Roy mengangkatnya. Ternyata Dewi Mutiara yang menghubungi selulernya.
“Malam tante. Ya saya sudah di Medan,” jawab Roy.
“Marlina sudah ketemu?” tanya Dewi Mutiara.
“Semoga tidak teralu lama, Marlina bisa kembali ke Jakarta.”
“Kalau memang sulit, tante akan hubungi tokoh penting di Medan?!”
“Jangan dong, tan!”
“Maksud tante, untuk ngebantuin lho, Roy!”
“Saya akan menggunakan segala cara tan,” tegas Roy.
“Oke deh! Saya percaya kepadamu Roy,” kata Dewi Mutiara tegas.
“Ya Tan! Ya. Saya akan usahakan,” ucap Roy meyakinkan.
Dewi Mutiara memutuskan kontak. Roy terdiam sejenak. Tak berapa lama Roy menghubungi Anton. “Mas Aton lagi dimana,” tanya Roy.
“Lagi koordinasi di Kampung Keling. Ada apa Mas Roy?”
“Malam ini, kumpulkan pencarian harus dilakukan maksimal. Saya tidak mau tahu, Marlina harus dapat dalam hitungan jam! Paham Mas?!”
“Ya, saya paham Mas!” tegas Anton.
Setelah menutup selulernya Anton menarik nafas panjang. Tak berapa lama menyalakan rokok impor dan menarik asapnya dalam-dalam. (***)
Pondok Melati
Regardo Sipiroko
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com