Kabut Tanah Tembakau (44)

GEROBAK sapi bergerak perlahan di jalan bebatuan. Sarni menundukan kepalanya ketika akan melintasi Mandor yang sedang memberikan pengarahan kepada kuli kontrak di seberang warung kopi. Handoyo menegakkan kepalanya. Tatapan matanya lurus ke depan. Tegas dan berwibawa.

Meski pelan gerobak sapi terus berjalan di jalan bebatuan Simpang Jodoh. Saat gerobak sapi akan melewati Mandor, matanya tajam melirik Sarni yang menundukkan kepala. Sarni takut melihat mata elang Mandor. Penuh birahi dan gairah membara.

Bacaan Lainnya

Handoyo tersinggung dengan tatap binal Mandor kepada istrinya. Handoyo dan Mandor pun beradu mata. Merasa ditantang, Mandor pun langsung melompat ke depan gerobak sapi dan menghentikan sapi.

“Koe, nantang aku ya?” hardik Mandor kepada Handoyo belagak tuan besar pemilik perkebunan tembakau.
“Aku tak menantang siapapun,” jawab Handoyo tegas.

Sarni sudah menggigil ketakutan. Dia tahu Mandor yang satu ini dikenal kejam. Karena kejam itulah Mandor tetap di percayakan oleh majikannya orang Belanda itu. Ia mejilat ke penjajah, tapi menindas ke kuli kontrak. Sarni berharap tidak terjadi sesutau kepada suaminya.

Secepat kilat Mandor menarik baju Handoyo. Tarikan itu membuat Handoyo terhuyung dan terjerembab di rumput. Nyaris masuk ke parit jika tak refleks pasang kuda-kuda. Dengan sigap Handoyo berdiri lagi dengan posisi siap diserang dan menyerang. Badannya yang kekar dan berotot siap menerima serangan dari Mandor. Wajahnya yang lembut spontan menjadi keras.

Sarni menjerit. Wanita cantik ini takut akan terjadi perkelahian antara suaminya dan Mandor. Kalau hal itu terjadi Mandor yang dikasih kuasa penuh oleh majaikannnya yang orang Belanda bisa mengusir dari barak penampungan kuli kontrak.

Para kuli kontrak dan orang-orang di warung kopi keluar mendegar jeritan kepanikkan Sarni. Tak ada yang berani melerai atau pun mendekat.

“Tatapan mata koe, menantang!”
“Tidak Mandor!” ucap Handoyo tegas.
“Koe tengok aku tadi mau apa?”
“Mandor membuat istri saya takut!” jawab Handoyo.
“Kurang ajar koe…” kata Mandor sambil mengibaskan cemetinya.

Handoyo menghindar dengat cepat. Mandor terus mengibas-ngibaskan cemetinya, namun Handoyo mampu memghindar. Merasa dipermalukan, Mandor semakin emosi dan terus mengibaskan cemetinya. Sejurus kemudian, Handoyo berhasil menggenggam batu koral yang besarnya sekepal di tepi jalan.

Dengan tenang sambil menatap mata Mandor dengan tajam, lalu Handoyo meremas batu koral itu. Krek! Batu koral hancur di tangan Handoyo. Mata Mandor terbelalak. Mukanya pucat. Cemati di tangannya telepas. Handoyo diam saja. Lalu meninggalkan Mandor yang terbodoh di samping gerobak sapi. Mandor tidak bisa bersuara. Mandor baru sadar yang dihadapinya saat ini bukan orang sembarangan. Baru kali ini Mandor dipermalukan di depan para kuli kontrak.

Handoyo dengan perlahan, setelah membersihkan celana puntungnya dengan tangan, lalu naik ke atas gerobak sapi. Kemudian memukul punggung sapi agar masuk berjalan. Gerobak perlahan berjalan. Sarni yang tadi ketakutan kini terlihat lega. Meski wajahnya masih pucat. (***)

Pondok Melati

Regardo Sipiroko

*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *