Kabut Tanah Tembakau (41)

CUKUP lama Hamzah dan Marlina terdiam. Bisu sejuta bahasa. Jalan kota Medan legang namun Hamzah menyetir mobil dengan santai. Marlina memandang ke depan. Sesekali hanya ekor matanya melirik Hamzah.

“Kenapa sih Kak Rabiah nggak jadi ikut?” tanya Marlina penuh selidik memecahkan kesunyian.

Bacaan Lainnya

Hamzah menarik nafas panjang. Ada rasa ragu untuk menceritakannya. Marlina memperhatikan ekspresi Hamzah yang berubah. Tegang namun berusaha untuk rileks. Marlina menunggu informasi dari Hamzah mengapa Rabiah membatalkan rencana ke Tembung untuk makan rujak.

“Katanya, mau ngobrol?” ucap Marlina menggoda.
“Kak Rabiah punya kenangan yang paling menyedihkan di Tembung,” kata Hamzah sambil membelokkan stir mobil ke kiri jalan.

Hamzah bercerita dengan perlahan dan runtut agar mudah dipahami Marlina. Hamzah mengatakan di Tembung Safar, kekasih Rabih menemui ajalnya. Safar menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan Rabiah. Safar tewas bersimbah darah karena ditikam belati tepat di uluh hati. Tidak ada yang bisa menolong. Meski Rabiah sudah menjerit histeris. Masyarakat tak berani mendekat karena ada puluhan preman yang mengelilingi mereka waktu itu.

“Bang Safar, ditikam preman akibat salah sasaran. Wajah bang Safar mirip sekali dengan yang dicari para preman itu,” kata Hamzah dingin tanpa memperhatikan wajah Marlina.

Marlina diam. Irama nafasnya semakin terasa cepat. Keduanya kembali sama-sama diam. Kelopak mata Marlina mulai berkaca-kaca. Setetes air mata jatuh di pipi. Marlina tidak mampu berkata sepata kata pun meski ada rasa ingin tahu yang mendalam. Hanya suara nafasnya kian kencang.

“Peristiwa itu sudah lama, Marlina. 23 tahun yang lalu. Waktu kejadian, Kak Rabiah dan Bang Safar baru pulang ngatar undangan resepsi pernikahan mereka, yang dijadwalkan semingu lagi,” kata Hamzah.

Suara gemertak gigi Hamzah terdengar menahan emosi yang mendalam. “Pernikahan yang gagal,” gumamnya.

Mendengar cerita Hamzah, air mata Marlina jatuh berderai. Tanpa isak. Hamzah melihat Marlina. Marina mendudukan kepalanya. Tanpa menoleh, Marlina berkata, “Kakak Rabiah yang malang…” ucapnya bergetar.

Keduanya larut dengan kesedihan masing-masing. Pikiran keduanya menerawang jauh. Perlahan Marlina melap air matanya yang meleleh dengan tisu. Tak berapa lama Hamzah menghentikan mobil.

“Kita sudah sampai. Kamu tunggu bentar ya, aku tak lama. Hanya mengantar balai ini saja,” kata Hazah sambil keluar dari mobil dan mengambil balai yang ada di jok belakang. Marlina mengangguk.

Tak berapa lama Hamzah berjalan dengan membawa balai dan menghilang di tikungan gang. Marlina diam di mobil. Pikirannya hanyut dengan peristiwa yang dialamai Rabiah. Hari ini Marlina menjadi maklum, mengapa Rabiah belum menikah. (***)

Pondok Melati

Regardo Sipiroko

*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *