Kabut Tanah Tembakau (39)

MENTARI pagi sudah mulai tinggi. Marlina masih sembunyi di balik selimut. Ketika cahaya mentari menyilat dahinya, Marlina terbangun. Kaget bukan main setelah menyadari telah kesiangan. Buru-buru berbenah kamar. Setelah di kota Medan inilah Marlina pertama kalinya berbenah tempat tidurnya sendiri.

Rabiah sibuk di dapur ketika Marlina muncul dari ruang tengah dengan membawa pakian. Rabiah melayangkan senyumnya. Marlina melihat Wajah Rabiah begitu segar dan riang. Berbeda dengan tadi malam, wajahnya menyimpan misteri.

Bacaan Lainnya

“Kak, saya mau laundry. Jauh nggak ya?” tanya Marlina.
“Nggak jauh! Tapi sini, biar kakak yang laundry. Masukan saja ke dalam mesin cuci,” kata Rabiah.

Marlina menaruh pakaiannya ke mesin cuci. Rabiah masih sibuk membikin Balai dengan memasukan pulut kuning ke tingat pertama Balai. Marlina memperhatian aktifitas Rabiah dengan teliti.

“Mau makan pulut kuning nih. Enak dan gurih,” ucap Rabiah.

Marlina mencobanya. Perut kosong disungguhi pulut kuning dengan pisang goreng, membuat Marlina katagihan. Sambil bekerja Rabiah pun bercerita.

Penggunaan Balai atau tepak dalam penyajian pulut kuning terdiri dari beberapa tingkatan. Balai dengan satu tingkatan, tiga tingkatan, lima tingkatan, tujuh tingkatan dan sembilan tingkatan.

“Balai ini, dinamakan juga Pulut Balai. Keberadaannya dalam setiap upacara adat tidak bisa ditinggalkan. Menjadi kehormatan dan kebanggaan bagi yang menerima atau memberi balai,” kata Rabiah.

Balai dibuat dari kayu berkaki empat dan tingkatnya ada yang 3 atau 7 dan setiap tingkat berisi pulut kuning sebagai lambang kesuburan dan kemuliaan. Pada tingkat paling atas dari balai diletakkan panggang ayam jantan sebagai lambang pengorbanan.

Panggang ayam dipacakkan Bunga Balai atau Kepala Balai. Setiap tingkat dari balai tersebut diletakkan telur berbungkus yang sudah dihias dan bertangkai lidi yang disebut Bunga Telur, kemudian dipacakkan ke pulut balai, berselang seling dengan Panji Bendera.

“Ini pesanan, teman kakak. Anaknya mau menikah. Kami di Melayu nih, harus ada Balai. Marlina juga kalau nikah sama pria Melayu akan menerima Balai juga,” kata Rabiah sambil menggoda. Marlina tertawa.

Tak diduga Hamzah sudah muncul di depan pintu dapur. Rabiah dan Marlina kaget.

“Mau kau, Hamzah pulut nih? Ambil lah!” kata Rabiah.

Hamzah berjalan dan mengambil pulut kuning dari baskom. Ketika Hamzah hendak mencuil pulut, tangan Marlina juga sektika mencuil pulut. Kedua tangan mereka beradu di dalam baskom. Rabiah tersenyum melihatnya. Hamzah dan Marlina jadi teratawa.

“Biasanya, kalau dua tangan beradu di makanan, akan ada tamu,” ujar Rabiah.

Marlina dan Hazmah pun saling pandang. Tidak paham dengan ucapan yang barusan disampaikan Rabiah. (***)

Pondok Melati

Regardo Sipiroko

*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *