SINAR bulan purnama jatuh di kaki Marlina lewat kisi-kisi jendela. Kamar yang gelap jadi remang disirami cahaya bulan. Dari dinding papan yang bolong karena lapuk cahaya lampu di ruang tengah menerobos masuk ke kamar. Marlina tak bisa terlelap. Berkali-kali mencoba memicingkan mata, namun tak bisa. Ia telah hanyut oleh kepedihan yang medalam dari senandung Rabiah.
Suara-suara binatang malam tak terdengar. Seakan ikut merasakan syair yang disenandungkan. Malam jadi beku. Marlina gelisah. Mendengar suara Rabiah masih bersenandung Marlina bangkit dari kasur. Membuka daun pintu perlahan dan melihat Rabiah duduk di ruang tengah sendiri sambil menikmati kopi.
Rabiah kaget melihat Marlina keluar dari pintu kamar. Marlina heran namun menutupinya dengan senyum.
“Belum tidur, Marlina?” kata Rabiah.
“Dah sepet sih mata, tapi belum bisa terlalap,” jawab Marlina sambil duduk di depan Rabiah.
Merlina memperhatikan wajah Rabiah. Tidak ada yang aneh dari wanita pemilik wajah halus ini. Di usianya yang telah menginjak 45 tahun, memang tidak tampak kerutan maupun garis-garis halus. Wajah Rabiah masih terlihat kencang dan tampak kilau sehat memancar dari kulitnya.
“Mau kakak buat kopi?” tawar Rabiah.
“Saya nggak bisa ngopi, kak!” ucapnya.
Marlina ingin bertanya, tapi ia ragu. Rabiah merasakan sesuatu pada diri Marlina.
“Kak, tadi aku dengar suara orang seperti bernyanyi. Sedih rasanya,” katanya.
Seketika wajah Rabiah pucat kayak ikan laga. Rabiah bingung mengapa Marlina bisa mendengar senandungnya. Rabiah tidak melafalkan. Hanya bergumam dalam hati. Mengapa Marlina mendengar jeritan hatinya. Keduanya saling pandang.
Saat itu, di belakang Marlina, Rabiah melihat lagi sekelebat cahaya putih melintas. Keluar-masuk dari kamar Marlina. Rabiah menenangkan hatinya. Menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan Marlina yang begitu polos.
Haruskah pertanyaan Marlina dijawab? Hal ini membuat Rabiah bimbang. Haruskah ia mengatakan apa yang sebenarnya kepada gadis milenial yang berbudi baik ini? Rabiah terombang-ambing.
“Sudah larut malam… Marilah kita rehat,” kata Rabiah sembari bangkit.
Marlina mengangguk dan ikut berdiri. Marlina merasa tidak enak dengan pertanyaannya. Mesti ada sesuatu yang telah terjadi. (***)
Pondok Melati
Regardo Sipiroko
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com