MARLINA tidak ingin membayangkan kedua orang tuanya akan kaget setengah mati dengan kelakukannya. Kabur dari rumah tanpa alasan yang jelas. Menghilang dan tak ada kabar berita. Marlina tidak ingin bersedih jika membayangkan air mata sang mama aku bercucuran atau papa yang bingung dan mencari tahu mengapa dirinya pergi tanpa pamit ke satu tempat yang tidak diketahui? Atau mama sedih Marlina dikira diculik dengan tebusan puluhan miliar. Bisa juga ditemukan ngambang di sungai dan ditayangkan televisi.
Suara pramugari memberitahukan pesawat akan landing membuat lamunan Marlina menjadi buyar. Menegakkan sandaran kursi dan menatap jauh dari jendela ke arah gumpalan awan yang luas. Pesawat mendekati daratan Sumatera.
Di luar sana terbentang laut yang luas. Sesaat berganti dengan pemandangan perkebunan sawit dan karet. Sungai-sungai berkelok-kelok seperti ular di padang rumput mencari air ke arah muara. Burung-burung beriringan seakan menjadi pemandu pesawat yang dalam hitungan menit akan landing. Hati Marlina pun bergeter melihatnya. Marlina menduga kalau kawanan burung yang melayang-layang di angaksa sana, di atas langit berawan sedang menjemputnya. Akukah yang mereka tunggu? Marlina tersenyum sendiri.
Mentari sore tidak tegas jatuh ke bumi. Pesawat perlahan merapat ke terminal ke datangan Bandara Kuala Namu. Ruangan pesawat pun berubah menjadi konser musik dari ponsel yang dinyalakan. Ketidaksabaran membuat orang menabrak pelarangan penggunaan telepon seluler di dalam pesawat yang telah lama diberlakukan oleh seluruh maskapai di dunia. Saat berada di kabin, penumpang harus mematuhi aturan ini. Marlina tidak perduli dengan ketidaksabaran para penumpang yang menyalakan ponselnya sebelum sampai di terminal.
Pesawat berhenti. Pintu kabin dibuka. Penumpang berebutan untuk turun. Lorong pesawat pun menjadi sesak oleh orang-orang yang tidak sabar. Marlina diam saja duduk di kursinya. Dia merasa tak perlu tergesa, sebab tidak ada yang perlu dikejar. Marlina memandang rintik hujan yang menetes di jendela pesawat. Dia lebih menikmati rintik hujan dari pada harus bergegas.
Marlina kaget ketika pundaknya disentuh wanita. Sentuhan yang lembut sekali. Antara terasa dan tidak terasa. Sentuhan tangannya begitu dingin, dinginnya sampai terasa ke tulang. Aroma parfum wanita itu begitu sejuk. Aroma yang begitu sempurna. Harumnya begitu segar dan belum pernah dinikmatinya meski dia berulang kali ke Eropa. Marlina menghirup aroma itu dalam-dalam sembari memejamkan matanya. Menikmati kesempurnaan aroma parfum dari wanita yang memegang pundaknya tanpa menoleh ke belakang barang sejenak.
“Selamat datang di Tanah Deli…” kata wanita jelita dengan suara antara sampai dan tak sampai. Suara lembut itu tembus ke relung hati Marlina. (***)
Pondok Melati
Regardo Sipiroko