PURNAMA penuh di atas kota Medan. Sinarnya jatuh di panggung terbuka Taman Budaya Sumatera Utara. Suara jengkrik malam terdengar pelan di sela-sela rumput. Penonton mulai penuhi kursi batu beralaskan rumput. Sinar lampu temaram. Di atas panggung Kumpulan Pakpung Medan sedang mempersiapkan diri untuk tampil.
Marlina dan Hamzah duduk di kursi batu paling atas menyaksikan persiapan pertujukan Ronggeng Deli. Sebuah pertunjukan kesenian Melayu yang melibatkan tari, sastra, dan musik.
Di atas panggung terlihat Mak Yal, seniman tari dan koreografer Melayu sedang merapikan baju Melayu teluk belanga.
“Itu yang suka senyum, yang sedang merapikan kainnya, namanya Mak Yal. Nama aslinya, Syahrial Felani,” kata Hamzah dengan pelan.
“Banyak banget ya kamu kenal Hamzah?”
“Mak Yal tuh seniman sejati. Hidup matinya adalah kesenian,” kata Hamzah.
“Ah, sok tahu kamu Hamzah…!” ujar Marlina menggoda.
“Ayahku, anggota Teater Imago Medan. Mak Yal tuh, juga berteater di Imago Medan juga,” tegas Hamzah.
Marlina tertawa. Dia senang menggoda Hamzah. Terlihat gigi Marlina yang putih dan rata. Meski tak bergincu, bibir Marlina merekah. Hamzah berhenti memperhatikan wajah Marlina ketika seseorang melambaikan tangganya.
“Itu siapa lagi?” tanya Marlina.
“Ayub Badrin. Dia sutradara Teater Imago Medan. Juga mentorku di dunia jurnalistik,” Hamzah menjelaskan.
Malam itu, malam istimewa bagi Kelompok Pakpung Medan. Mestro gedang Melayu Chairuddin Dahlan dengan sapaan akrab Tok Udin, akan tampil. Tok Udin, murid langsung dari Guru Sauti pencipta tari Serampang XII yang terkenal dimasa pemerintahan Presiden Sukarno. Hanya tinggal Tok Udin yang tersisa dari seniman Melayu yang sempat tampil di Moskowa.
Sebagai putra Melayu, Hamzah tidak ingin ketinggalan menyaksikan Tok Udin tampil. Seorang maestro seni tradisi gendang Melayu yang tak ada duanya. Kalau Tok Udin tampil bisa melambungkan gendangnya ke udara sambil mengiringi musik Melayu, tanpa sedikit pun kehilangan tempo.
Marlina sektika mencium aroma kembang yang menyengat. Ketika melirik ke kiri, ia melihat banyak orang berpakian Melayu. Indah. Berwarna-warni dengan berbagai corak. Yang membedakan, meski angin berhembus busana mereka tidak bergoyang. Padahal sekejap tadi ia tidak melihatnya. Begitu juga ketika melirik ke kanan orang-orang berpakaian warna-warni dengan adat Melayu berdiri rapi menyaksikan panggung. Marlina kini berada di sebuah pertunjukan musik tradisi Melayu di antara dua alam. (***)
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com