Kabut Tanah Tembakau (15)

TAK ada pilihan bagi Hamzah kecuali mengikuti kehendak Marlina. Meski baginya, Marlina bukan apa-apa, hanya sekedar teman yang baru kenal, namun seakan sudah mengenalnya puluhan tahun. Hamzah tak paham mengapa hal ini bisa terjadi.

“Getaran apakah ini?” tanya Hamzah dalam hati.

Bacaan Lainnya

Tiba-tiba Rabiah memukul pundaknya. Hamzah tersentak.

“Apa yang kau lamunkan?” tanya Rabiah.
“Tak ada kak!” ucap Hamzah.
“Sudah lah kau ikutin saja maunya, Marlina,” kata Rabiah.
“Tapi, kenapa pula dia suka kali ke Seantis dekat bangsal tembakau tuh ya? Tak habis pikir awak dibuatnya,” ucapnya.

Marlina naik ke rumah dari perigi. Usai mandi harum Marlina semerbak ketika melintas hendak ke kamar. Hamzah menatap Rabiah, tapi ekor matanya sempat melihat Marlina. Sekali lagi, Rabiah mengingatkan Hamzah agar menjaga adat saat menemani Marlina selama di Medan.

“Jadilah kau tuan rumah yang baik,” pesan Rabiah. Hamzah mengangguk.

Tak berapa lama Marlina keluar dari kamar dengan mengenakan sendal model block heels yang dipadukan dengan flared jeans, membuat penampilan Marlina semakin stylish. Tidak hanya Hamzah yang tercenggang, Rabiah pun ikut mengaguminya.

Rabiah mengantar Hamzah dan Marlina ke depan pintu. Ketika mobil Hamzah menghilang dari padangannya, Rabiah pun masuk ke dalam rumah.

Jalan-jalan macet di sekitar Glugur ByPass. Padat dan merayap. Kota Medan begitu ramainya. Hamzah yang sedang nyetir mobil kembali bergidik. Harum semerbak tercium. Marlina juga merasakan yang sama. Saling pandang, namun tak bisa berucap.

Hamzah mengatakan, banyak tanah perkebunan di era kolonial kini berubah fungsi menjadi perumahan dan komplek pergudangan.

“Dulu mulai dari jalan Pancing ini, sepanjang jalan yang terlihat hanya perumahan karyawan perkebunan dan perkebunan tembakau. Sekarang sudah berubah,” katanya Hamzah.

Marlina diam. Semakin dekat ke Seantis, semakin kuat aura yang ada di tubuhnya. Kekuatan magis. Tak bisa dikatakan, tapi bisa dirasakan Hamzah merasakan susana aneh di dalam mobilnya. Mobil terasa semakin berat, seakan mobil ditumpangi lebih dari empat orang. (***)

Anyer, Karang Bolong

Regardo Sipiroko

*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *