HAMZAH tiba di rumah Melayu ketika Marlina dan Rabiah masih berbincang tentang foto yang ada di dinding rumah. Setelah mengucapkan salam, Hamzah langsung duduk di kursi rotan. Sadar Hamzah belum diberikan kopi, Rabiah langsung ke dapur menjerang air.
Tak berapa lama Rabiah datang dengan secangkir kopi panas. Setelah meletakan secangkir kopi di meja, langsung duduk di kursi rotan di depan Hamzah. Aroma kopi Mandailing merebak kemana-mana. Tanpa basa-basi Hamzah menyeruput kopi.
“Kak Rabiah, tahu kalilah selera kopi awak. Kental dan kopi Mandiling,” kata Rabiah.
“Lupa lah kakak beli kan kau lontong! Sudah sarapan, kau Zah?”
“Sudah kak,” jawab Hamzah.
Marlina duduk di samping Hamzah. Matanya masih menatap ke foto yang mengganggu pikirannya. Hamzah memperhatikan wajah Marlina dalam-dalam. Lalu dengan cepat ekor matanya mengikuti pandangan Marlina ke foto yang ada di dinding.
Rabiah kembali ke dapur yang berada di bawah rumah dekat dengan kamar mandi.
“Ini di Saentis. Di Bangsal tembakau. Inikan foto kak Rabiah, waktu SMP,” kata Hamzah sembari berdiri.
“Saya ingin kemari, Zah!” Kata Marlina lembut.
Hamzah memperhatikan ekspresi wajah Marlina yang tak menoleh sedikit pun.
“Tapi, kini bangsal tembakau kosong,” ucap Hamzah.
“Saya pernah kemari sebelumnya. Tempat ini tidak asing. Saya pernah beberapa kali ke tempat ini,” kata Marlina
Rabiah yang selesai berbenah di dapur langsung nimbrung.
“Mending, Zah, kau ajak dia ke Istana Maimun. Berkunjung ke Kota Medan tak lengkap rasanya jika tak ke Istana Maimun,” kata Rabiah.
“Benar kata kak Rabiah, Mar! Istana Maimun merupakan peninggalan Kesultanan Deli yang didirikan Sultan Mahmoed Al Rasyid Perkasa Alamsyah yang merupakan keturunan raja ke-9 pada Kesultanan Deli. Istana Maimun mulai dibangun 26 Agustus 1888,” kata Hamzah.
Marlina membalikkan tubuhnya sembari berkata, “Sebelum ke tempat ini, saya tidak ingin kemana-mana,” suara Marlina sedikit berbeda. Hamzah dan Rabiah saling pandang. Seakan saling tanya, mengapa suara Marlina berubah?
“Oke! Nanti kita kesana!” Kata Hamzah.
Marlina tersenyum. Kali ini senyum Marlina manis sekali. Berbeda dengan yang tadi sempat beringas. Hamzah mulai menyelidiki apa sebenarnya yang terajadi di Saentis? Marlina orang Jakarta, mengapa begitu ngotot ingin ke bekas bangsal tembakau peninggalan Belanda? (***)
Anyer, Karang Bolong
Regardo Sipiroko
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com