SEDETIK yang lalu Hazmah berada di alam nyata, kini ia sudah berada di alam bunian. Saat berbalik ke belakang, bangunan bekas bangsal tembakau di Seantis pun sudah lenyap. Hamzah kaget dan panik. Memandang sekeliling tak satu pun dikenalnya. Padahal ia begitu mengenal seluk-beluk kota Medan.
Terdampar di negeri asing Hamzah mencoba tenang. Ia tidak menemukan siapa-siapa di jalan berbatuan. Siang itu sepi. Hamzah tidak tahu harus melangkah ke arah mana. Mana angin pun ia tak tahu. Hamzah merasa aneh, beberapa menit lalu angin begitu kencang, tapi kini tak merasakan semilir angin meski udara sejuk.
Di sebuah batu, di tepi jalan, Hazmah duduk memandang sekeliling sembari mengatur nafasnya dan menenangkan pikirannya. Jantung Hamzah berdetak tak teratur. Tidak juga ngos-ngosan. Ia tak takut tapi was-was.
Di kejauhan Hamzah melihat sosok wanita berjalan cepat. Rambutnya yang panjangnya tidak tergerai meski berjalan begitu cepatnya. Wanita berambut panjang itu melayangan senyumnya. Hamzah merasa dapat harapan karena akan bisa berkomunikasi. Ia tidak perdui siapa wanita itu.
Dalam hutungan detik, wanita itu sudah berada di depannya. Hamzah memperhatikan wanita itu. Bola matanya indah. Bulat dengan alis mata yang teratur rapi. Bibirnya basah dan merah. Cantik dan angun. Harum tubuhnya begitu segar. Siapa wanita ini? Hamzah mencoba mengembalikan memorinya. Wanita itu kembali tersenyum.
“Hamzah, kamu telah tiba!” kata Jelita menyapa.
Hamzah kegelagapan ketika disapa Jelita. Ia bingung mengapa wanita cantik ini bisa mengenalnya di negeri asing.
“Apakah aku mengenal kamu?” tanya Hamzah.
Segera Jelita menarik tangan Hamzah untuk bersembunyi di balik tebing. Hamzah hanya mengikuti kemauan Jelita dengan sejuta tanya. Jelita langsung memeluk Jelita sambil menutup mulutnya dengan tangan. Hamzah ingin meronta, tapi tetap mulutnya terus dibekap.
Dalama hitungan detik juga, terdengar suara derap kaki kuda yang begitu gencang. Suara derap kaki kuda pasukan Ruwondo kian gencang ketika melintas di atas bukit. Pasukan Ruwondo terburuh-buruh dan menghilang di balik bebukitan.
Hamzah semakin tidak mengerti mengapa wanita cantik itu begitu takut dengan pasukan berkuda yang datang pergi dengan kecepatan tinggi. Jelita menarik nafas lega. Lalu kembali senyum kepada Hazmah. Senyuman itu membuat Hamzah salah tingkah. (***)
Pondok Melati,
Regardo Sipiroko
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com