HANDOYO nampak duduk bersila. Matanya terpejam. Hanya pikikirannya yang melayang. Lama-lama ia mendegar langkah yang kian mendekat. Bukan langkah kaki opsir yang kaku. Dua pasang langkah kaki yang lembut itu berhenti di depan selnya. Handoyo kian penasaran.
Di depan sel Marlina berdiri kaku sambil memegang jeruji besi. Di sebalahnya Rakat memperhatikan opsir yang sudah simuan sambil berjaga-jaga. Mendegar langkah berhenti, Handoyo langsung berpaling.
Darahnya terkesiap begitu melihat Marlina. Handoyo nyaris pingsan melihat sosok wanita di depannya. Handoyo tidak tahu harus berbuat apa. Setelah puluhan tahun, baru hari ini ia melihat orang yang dicintainya.
“Sarni…!” kata Handoyo dengan suara yang bergetar. Suara orang yang merindu puluhan tahun. Marlina kaget mendengarnya.
Perlahan Handoyo mendekati Marlina. Jika tidak ada jeruji besi mungkin ia sudah menubruk tubuh Marlina. Perlahan ia memegang tangan Marlina. Melihat pertemuan itu Rakat ikut terharu.
“Sarni… Aku merindukanmu…” katanya.
“Mbah… Ini Marlina,” ucapnya.
Handoyo langsung kaget dan menyucek-ngucek matanya. Air mata Handoyo jatuh. Ada isak yang tertahan. Sebuah kerinduan yang mendalam. Ia pangling karena Marlina mirip sekali dengan istrinya di abad saat di Perkebunan Tembakau Deli.
Keduanya saling Pandang, Marlina memperhatikan buyut yang baru dikenalnya. Handoyo langsung ingin memeluknya buyutnya.
“Mbah…! Benarkah ini buyutku!
“Ya. Akulah Mbah buyutmu,” kata Handoyo.
Marlina terharu biru. Serasa tak masuk akal baginya bisa bertemu dengan mbah buyutnya di alam bunian. Masih muda untuk ukuran kakek bunyut, sementara nenek bunyutnya Sarni sudah lama meninggalkan dunia karena tua. Bahkan di alam nyata, semua seumuran Handoyo sudah meninggal dunia.
“Kami tidak boleh terlalu lama disini…?” kata Rakat mengingatkan.
Marlina dan Handoyo harus segera mengkahiri reuni keluarga. Perlahan Handoyo berdiri tegak dan mengeluarkan semua semangatnya. Kehadiran Marlina membuat kekuatan Handoyo yang perkasa kembali pulih. Handoyo pun kagat kekuatannya kembali seperti sediakala.
“Hari ini mulai gerakan perlawanan!” kata Handoyo.
“Ini perintah?” tanya Rakat.
“Ya. Ini perintah!” tegas Handoyo.
“Dilaksanakan!” tegas Rakat bersemngat.
“Dimana pasukan kita?” tanya Handoyo.
“Di lembah, di hutan rimba!” jawab Rakat.
Dengan sigap Handoyo mematahkan teralis besi penjara yang begitu tebel. Marlina pun kaget dengan kekuatan Handoyo. Baru sekali ini ia melihat langsung kekuatan kakek buyutnya.
“Ayo kita tinggalkan tempat ini! Sebelum para opsir siuman,” kata Handoyo.
Marlina, Handoyo dan Rakat pun meninggalkan sel yang pengap dan gelap itu. (***)
Pondok Melati,
Regardo Sipiroko
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com