Kabut Tanah Tembakau (101)

HUTAN bentara di negeri bunian begitu lebat dan dingin. Sejauh mata memandang yang terlihat hutan dengan pohon yang besar dan rimbun. Bintang melata yang melintas seperti kadal namun bentuk dan besarnya berbeda. Begitu juga dengan semut berwarna hijau dan besar berjalan beriringan di batang-batang pohon.

Hutan yang lebat dan gelap ini, jika dilewati harus hati-hati sebab banyak binatang melata dan hewan buas lainnya yang siap memangsa. Hutan bunian seperti dalam ngeri sihir. Jika tidak berhati-hati bukan tidak mungkin tubuh dililit tumbuhan merambat.

Bacaan Lainnya

Semak terlihat bergerak-gerak. Seakan ada pergerakan binatang buas yang siap menerkam siapa saja. Kian lama, kian banyak semak yang bergerak. Sejurus kemudian dua kepala muncul dibalik pohon berjenis pakis besar. Empat pasang mata itu mengintip penuh kehati-hatian itu adalah Rakat dan Marlina.

Di belakang Rakat dan Marlina ada Bunga serta Jelita dan dikuti beberapa pasukan yang siap tempur. Rakat memimpin gerakan yang begitu berani. Meski begitu, setiap langkahnya penuh perhitungan yang matang. Jika meleset, pasaukan Ruwondo akan menyikat habis mereka semua.

“Masih juah kah?” tanya Marlina.
“Sebenarnya tidak terlalu jauh! Tapi kita harus memutar, agar tidak terlihat pasukan Ruwondo,” kata Rakat.

Lalu keduanya terus mengendap-ngendap dan dikuti yang laianya, memasuki kerimbunan hutan yang kian pekat. Bunga merasa tak enak melihat Rakat begitu dekat Marlina. Ada rasa irinya kepada Marlina. Meski sudah lama mengenal Rakat, namun tidak bisa dekat Marlina.

Jelita menyadari kecemburuan Bunga kepada Marlina. Jelita pun menjadi tersemyum sendiri melihat kelakuan saudaranya itu. Tiba-tiba saja, Jelita menarik tangan Bunga dan berbisik kepadanya.

“Bunga, kau jangan cemburu buta dengan Marlina. Dia itu ponakan kita,” bisik Jelita ke Bunga. Mendegar bisikan itu Bunga hanya senyum tipis. “Tidak kok!” jawabnya.
“Getaran hati tidak bisa dibohongi,” kata Jelita. Lalu keduanya tertawa kecil.

Marlina dan Rakat pun melihat Bunga dan Jelita yang tertawa kecil di balik pohon besar. “Sttt! Hutan ini bisa melaporkan!” kata Rakat.

Bunga dan Jelita menutup mulutnya. Melihat Bunga dan Jelita, Marlina pun tersenyum, sebab ia tidak tahu apa yang ditertawakan kedua bibinya itu. (***)

Pondok Melati,

Regardo Sipiroko

*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *