HARI-hari ini, Januari 2022 ini, saya merasakan ‘sesuatu’ di Medan. Semacam gemuruh, semangat yang menolak dikalahkan. Mempertaruhkan eksistensi. Menjaga kewarasan. Menghidupkan akal sehat. Sejarah bertahun, berpuluh tahun. Sebagian yang menggemuruh itu, terasa sebagai peristiwa budaya. Mewakili ruang, waktu, orang-orang, dan kebudayaan yang bertautan di dalamnya.
Pertama, bahwa hari ini adalah ulang tahun sebuah suratkabar yang tertua, yang tersisa, di Medan. Harian Waspada, yang kini dipimpin oleh Teruna Jasa Said. Tujuh-puluh-lima-tahun usia. Batu karang yang berusaha bertahan dari gempuran zaman. Setelah banyak yang sebayanya, satu-satu rontok, padam, wafat. Meninggalkan sejarah yang panjang. Waspada adalah entitas, yang berkelindan paralel dengan sejarah republik, nasionalisme, dan, tentu kebudayaan, dalam arti luas.
Kedua, ulang tahun kelima-puluh, salah satu kelompok teater tertua di Medan: Teater Imago. Imago yang tak ingin menjadi artefak. Dan jalan panjang, berkelok mendaki, yang tungkus lumus diretas oleh tokoh degil, Darwis Rivai Harahap, tengah dibentang lagi oleh penerusnya: Ayub Hamzah Fahreza, dkk.
Ketiga, ulang tahun keenam Kumpulan Pak Pong Medan. Sebuah kelompok yang mengusung keindahan dan nilai-nilai seni pertunjukan Melayu, kesenian ronggeng. Yang melahirkan banyak maestro dan jawara pada masanya: Anjang Nurdin Paitan, dkk. Kesenian hibrid yang mewarnai sejarah kota Medan, sejak dari Serdang sampai ke berbagai penjuru Sumatera Timur. Meski seorang eksponen Kumpulan ini, Amir Nasution, dan juga tokoh gendang Melayu, Chairuddin Dahlan telah tiada, kumpulan ini masih terus hidup, menggeliat, merangsek, seperti syekh silat dengan jurus-jurus yang tak terbaca. Iwan Amry, Mak Yal, Retno Kampoeng, Roy Irawan, dkk. adalah pewaris sah yang terus menjaga semangat ini.
Keempat, Teater Rumah Mata. Beberapa hari lagi akan merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas. Di sana, berdiri seorang Guslo Manna, lelaki liat, yang tak henti-henti bergerak. Kelompok teater yang menyatukan tubuhnya dengan alam dan gagasan-gagasan yang liar, yang mempesona. Tujuh belas tahun, bagi sebuah kelompok teater yang bergulat di tengah masyarakat urban tak jelas identitas di Medan ini, adalah berkah tak terkira.
Kelima, Festival Sasude, dengan performance art Delirium oleh Kantor Teater. Kemarahan sekaligus kesedihan Roy Julian, Mamexandria, dan kawan-kawan, tentang nasib sebatang sungai yang rusak dan sekarat.
Sungai yang menghiasi mitologi dan sejarah kota Medan, sungai Deli. “Sungai yang konon adalah simbol peradaban kota Medan dan pernah menjadi jalur lalu lintas niaga kapal-kapal itu kini sudah kehilangan marwahnya. Fungsi sungai Deli bahkan saat ini tak lebih dari sekedar sebuah tempat sampah besar, yang semua orang bisa dengan seenaknya membuang sampah ke dalamnya,” ujar Julian dalam pengantarnya.
Kini, yang berlayar di sungai busuk itu adalah sampah, sampah, dan sampah. Delirium adalah teater sarkastik yang dipertontonkan sebagai sebuah peristiwa penarikan sampan oleh Roy dan Mamex di sepanjang jalan-jalan raya kota Medan. Tempeleng keras bagi wajah kota yang buruk!
Sesungguhnya, ada yang keenam. Saya harus mencatat. Seorang perempuan penyair Medan, Seiska Handayani, beberapa pekan lalu, menerima anugerah atas bukunya, Lepas Muasal, sebagai salah satu dari Lima Buku Pilihan Hari Puisi Indonesia 2021. Seiska telah menyambung jalan yang didedah oleh Damiri Damiri Mahmud Mahmud, empat tahun lalu, yang memperoleh anugerah yang sama. Penghormatan yang ia terima adalah peristiwa sastra yang penting. Penanda jejak. Bahwa sastra masih ditulis dan dibaca di sana. Oleh Komunitas Kata-kata. Oleh Fosad. Oleh Kosambi. Oleh Komunitas Omong-omong Sastra. Melanjutkan tradisi dan sejarah panjang Medan, yang melahirkan Chairil Anwar, dan ratusan penyair yang nama-namanya ditulis dan tak ditulis dalam kitab pelajaran anak sekolah.
Adapun yang memukul-mukul dalam darah saya ialah: mereka semua tampak sebagai pejuang. Sebagai gerilyawan. Sebagai pengayuh sampan di sungai Deli yang berlumpur. Sebagai laskar-laskar, yang menisik bendera masing-masing. Yang datang dari lorong yang tak bernama, tak terkenali oleh para pemangku kebudayaan.
Mereka, yang seperti kata mas Putu Wijaya dalam status fb-nya kemarin, orang-orang yang mensubsidi penyaksinya, masyarakatnya, kotanya, penguasanya. Dengan buah pikir, gagasan, karya. Kecintaan, tapi juga kecaman. Meski jungkir-balik. Meski berdarah-bernanah, karena terluka. Mereka yang tak jemu menuliskan sejarah sebuah kota. Mewarnai sukma warga, di kota yang dibesarkan oleh budaya kolonial dan kapitalis kebon VOC, yang baunya masih bercokol sampai sekarang.
Mereka menghidup-hidupkan tungku api, yang ruangnya diserukan oleh mas Halim HaDe, harus ditegakkan dengan ‘politik kebudayaan’, yang menurut Rizaldi Siagian sudah mampat, macat, tak lagi bermakna fungsional, dan karenanya harus diubah, dibongkar!
Seperti peringatan Roy Julian, “Tak ada lagi sungai bagi sampanku untuk berlayar. Sampanku harus turun ke jalan. Berlayar di atas aspal dan batu-batu kerikil. Sambil diam-diam menunggu banjir yang akan datang membawaku pulang.”
Pernyataan yang mengandung pesan tersurat dan tersirat yang tajam. Jika para pemangku budaya, dan pengelola kota tak mampu menyimak, setidaknya enam hal di atas, maka tak pelak, diperlukan korek kuping sembilu untuk mengorek liang kuping yang tumpat itu! (Tatan Daniel)