Erika Siluq Akan Terus Melawan Untuk Membela Ketidakadilan Terhadap Orang Dayak

Foto: Erika Siluq (yoyok)

BEBERAPA hari ini banyak yang bertanya, siapakah Erika Siluq itu?

Pertanyaan itu ternyata terkait dengan berbagai macam pernyataan si nyonya muda mengenai penolakan terhadap program politik transmigrasi. Ada kawan yang khawatir sikap Erika menyimpan aroma rasialisme. Saya tersenyum geli menyimak kekhawatiran tersebut. Perempuan yang bersuamikan Sastiono Kesek seorang lelaki dari pulau dan suku yang berbeda, bisa dipastikan jauh dari prasangka kebencian terhadap suku dan ras lain.

Bacaan Lainnya
Foto: Erika Siluq (yoyok)
Foto: Erika Siluq (yoyok)

Mungkin tidak banyak yang tahu, sejak RI dideklarasikan, belum ada satupun presiden yang pernah menginjakkan kaki ke kampung halaman saya di Kabupaten Mahakam Ulu. Saya tidak tahu kenapa, tapi sering tergoda untuk berpikir bahwa bisa jadi warga Dayak di Kaltim tidak menguntungkan secara statistik dalam pemilihan pemilu legislatif dan pemilihan presiden, makanya tidak perlu untuk diberi atensi khusus.

Jusuf Jeka Kuleh, seorang akademisi yang juga mahir menggunakan kamera mengabadikan kekuatan masyarakat Dayak menghadapi kerasnya kehidupan di kabupaten Mahakam Ulu melalui seratusan foto yang dijadikan buku dengan judul “Eksotika Tanaa Mekam”.

Foto kuleh berbicara dengan perlahan: kami setia dengan NKRI, meski pemerintah abai terhadap kehidupan kami
Saya menduga, pernyataan keras Erika berangkat dari kemarahannya sebagai perempuan Dayak yang merasa pemerintah (pusat & daerah) tidak memberikan perhatian yang memadai kepada masyarakat Dayak.

Ada stigma negatif yang mendera warga Dayak. Ketika frasa “Dayak” terucap, maka yang kerap terdengar adalah: gemulai tarian, telinga panjang, tato, juga suku pemakan orang! Dayak tidak lebih dari etalase yang dipajang atas nama pariwisata.

Dalam sebuah percakapan, Erika bercerita bahwa ia barusan memberikan kesaksian dalam sidang sengketa lahan antara perusahaan batu bara dengan seorang warga. Dengan penuh kegusaran ia menyatakan, warga harus berhadapan dengan aparat hukum untuk mempertahankan lahannya. Sementara pemerintah dengan mudahnya memberikan izin dan ribuan hektar lahan (juga proteksi politik) bagi perusahaan.

Setiap kali Erika berteriak lantang menolak transmigrasi, pesan yang ia sampaikan sangatlah jelas, bahwa harusnya pemerintah terlebih dahulu memenuhi hak warga lokal untuk medapatkan kesempatan yang sama dengan warga lain yang sudah sejahtera.

Saya tidak tahu sampai kapan Erika akan terus marah. Yang saya tahu, ia akan terus marah untuk mempertanyakan dan melawan ketidakadilan terhadap orang Dayak. (yoyok)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *