Oleh. Anto Narasoma
KEKUATAN jiwa seorang pemain teater berkaitan dengan alam. Sebab ketika seorang masuk ke dunia teater, upaya besar yang dilakukan adalah menyatu dengan alam.
Alam yang terkembang mampu membuka aura agar kita bisa “melihat” utuh ke dalam diri sendiri. Dari kejauhan, kita disarankan untuk mendengar suara cericit burung di antara deru angin.
Di antara kesibukan pikiran manusia, kita mampu membangun ilusi tentang sesuatu, siapa, apa, mengapa dan bagaimana karakter kuat yang kita ingat.
Dalam keriuhan suara air terjun, kita mencoba melatih vokal agar frekuensi suara kita mampu menembus rapatnya volume bunyi-bunyian air terjun tersebut.
Dari kembangan alam pula ketajaman rasa seseorang Bambang Oeban menembus leheningan di antara getaran gempa, lebatnya gemuruh petir. Karena itu ketika ia mendapat peran menjadi siapa, maka munculah karakter yang diharapkan, di dalam kekuatan karakternya sendiri.
Menurut Rabindranath Tagore, pendalaman jiwa seseorang ketika ia menyatu dengan alam, maka yang ia rasa adalah kebijakan nilai kemanusiaannya sendiri.
Dari sinilah ia mampu mengolah rasa dan jiwanya sebagai refleksi psikologi kemanusiaan seorang manusia. Karena itu ketika melihat seorang Bambang menyatu dengan alam, ia mampu menjelajahi tiap jengkal dari peralihan waktu yang berputar.
Sebagai seorang pementas di panggung, Willy Surendra atau WS Rendra, banyak mengajarkan pengikutnya untuk memperkuat batin dan kepekaan rasa untuk menyambut peran apa saja yang dipercayakan ke diri murid-muridnya.
Don Pedro Calderon de La Barca (1451-1502), seorang penyair yang juga pemain teater, ketika akan berkarya, ia lebih dahulu konsentrasi dan mengembangkan imajinasinya untuk menulis dan berperan di panggung dengan baik.
Seperti dalam karyanya….Kita hidup selagi melihat matahari/ Dimana bagai berpadu hidup dan mimpi; Dan adjaran hidup bagiku, begini: Manusia memimpikan hidup sendiri/Sampai jiwa dan djasad bertjerai…
Seperti dikatakan Dr Edi Harapan MPd dalam buku Komunikasi AntarPribadi (Pustaka Felica , dijelaskan bahwa konteks hubungan antara jiwa manusia dan alam ibarat kulit dan daging.
Artinya etika dan jiwa manusia harus terbuka terhadap perubahan lingkungan yang dihadapi. Meski kondisi itu tidak relativistis, namun ketika dibutuhkan kedalaman jiwa yang berkaitan dengan alam, maka akan lahir fakta terbaik di dalam karya kita.
Karena itu Bambang Oeban mencoba menyatukan intuisi, konsentrasi, kekuatan nilai kemanusiaannya untuk menghidupkan peran apa saja yang ia bawakan.
Dalam konteks inilah kita sadar bahwa alam dan jiwa manusia adalah satu. Hanya kekuatan latihan saja kita mampu mengangkat nilai peran seolah menjadi fakta di dalam kehidupan kita.
Karena itu dalam tiap karyanya penyair Amir Hamzah cenderung mencari Tuhan sebagai kekuatan estetika. Begitu juga Bambang Oeban. Meski tak secara terang-terangan bahwa ia juga “mencari” Tuhannya, namun dari rasa syukur dan keakraban dirinya dengan alam sekitarnya, menunjukan satu klasifikasi tahapannya mengenal Tuhan Sang Mahapencipta.
Derek Walcott, dalam memahami tiap kata dan diksi, selalu erat terkait dengan gerak kehidupannya. Sebagai penyair berdarah campuran Afrika, Belanda dan Inggris.
Seperti yang dilakukan Bambang Oeban menerobos alam untuk menguatkan nilai kepribadiannya yang terbuka, Derek Walcott menonjolkan karakter kepribadiannya sebagai manusia yang berbatasan dengan eksistensi alam.
Seperti dikemukakan Hans Baggue Jassien, alam adalah inti kekayaan bagi pekerja seni untuk membangun kekuatan karyanya. Terutama untuk karya sastra puisi dan sastra panggung.
Bisa jadi, dari sisi inilah seorang Bambang Oeban mencoba menerobos eksistensi alam untuk membangun jiwanya sebagai pemain sastra panggung. (*)
Tirta Bening, Sabtu, 13 Juli 2019