Di Atas Bukit Di Pulau Nias, Situs Nisan Islam Aceh Menyatu Dengan Artefak Megalitium

Situs Nisan Islam Aceh Menyatu Dengan Artefak Megalitium. (ist)

Oleh. Ichwan Azhari

SAYA dengan hati berdebar memanjat sebuah bukit sejauh sekitar 1000 meter. Dua malam yang lalu, di Museum Pusaka Nias Gunung Sitoli saya berdiskusi panjang dengan Pastor Jerman, Johannes M Haemmerle pendiri museum itu, tentang jejak Islam Aceh di Nias.

Diskusi itu mengganggu rasa penasaran saya akan situs Islam batu Aceh yang ada di atas bukit ini.

Pastor Johannes meminta saya menyiapkan fisik untuk sampai ke atas bukit situs megalith Ononamolo Tumba dan Sibatua. Ah saya tak mau kalah, masakkan pastor Jerman berusia 78 tahun ini pernah sanggup ke sana, saya yang jauh lebih muda tak sanggup? (Tiba tiba saya merasa harus muda kembali).

Bukitnya curam dan rasanya seperti lebih sulit (karena tanpa tangga), dibanding mendaki makam Papan Tinggi di Barus.

Saya beberapa kali tergelincir, beberapa kali berhenti menarik napas, bergerak tanpa sepatu dan masih pakaian kantoran karena memanfaatkan sedikit waktu menuju bandara. Dan rasa lelah dengan dengkul hampir lepas ini terobati saat sampai di atas menemukan 5 nisan Batu Aceh.

Ini benar benar mencengangkan. Batu Aceh berada di bebukitan, di kompleks runtuhan tradisi budaya batu batu besar/megalitikum, runtuhan desa kuno Nias. Jika nisan batu Aceh selama ini sering berada di kawasan dataran rendah dekat pantai dan sungai, maka kali ini batu Aceh ikut tradisi kampung Nias kuno, berada di atas bukit, bagian dari kampung kuno sebagai sistem pertahanan perang antar kampung.

Teka teki yang kusutpun mulai masuk ke kepala. Siapa yang dimakamkan ini? Orang Aceh? Aulia penyebar Islam? Kalau bukan orang Nias ngapain dimakamkan di atas bukit menyatu dengan tradisi kampung kuno? Atau ini makam bangsawan Nias yang pertama masuk Islam?

Pastor Johannes berhipotesa ini agaknya makam raja Nias pertama yang masuk Islam, jauh masa sebelum orang Barat dan agama Kristen masuk ke pulau Nias. Kompleks makam ini berbeda dengan kompleks makam situs Aceh lain yang berada di kawasan kampung Mudik kota Gunung Sitoli.

Saya menginap di rumah tradisional Nias yang dalamnya di sunglap Pastor Johannes menjadi kamar hotel bintang 3 di kompleks Museum Pusaka yang didirikannya.

Di museum itu oleh kepala museum yang juga teman saya pak Nata Duha, saya diperlihatkan sejumlah pecahan keramik dan tembikar temuan situs Aceh Nias ini. Sebagian besar dari Dynasti Qing abad 18-19. Nisan batu Aceh ini sendiri kemungkinan berasal dari abad 17.

Di bukit saya juga menemukan beberapa ceceran pecahan keramik Dynasti Qing. Tapi saya dan juga Pastor Johannes belum dapat menghubungkan situs Nisan Aceh di bukit Ononamo Tumba ini dengan situs Islam mudik abad 17 di pesisir Gunung Sitoli.

Temuan ini bisa menjadi titik tolak memahami Nias dari dimensi lain, yakni kontak Nias dengan peradaban dunia luar berabad abad yang lalu, jauh sebelum pengaruh Barat datang. Di museum Pusaka Nias ditampilkan manik manik kuno yang memperlihatkan kontak Nias dengan India dan Indo Pasifik.

Pastor Johannes dan di belakang kami rumah tradisional Nias Utara yang dijadikan hotel museum. (ist)

Islam adalah agama luar pertama yang masuk ke Nias sejak 1642 sebagaimana ditulis M.I Polem dkk dalam buku yang dieditori Pastor Johannes (2008).

Ini juga menjadi penjelas kenapa ada banyak komunitas muslim dan mesjid di kawasan Gunung Sitoli, komunitas yang berasal dari keturunan Islam lama dan bukan Islam pendatang baru abad 20. Komunitas ini juga lah yang menjadi pembentuk marga baru di Nias yakni marga Polem.
Lebih dari itu, situs situs Islam ini bisa menjadi penghubung pengetahuan kita kenapa toleransi antara pemeluk Kristen dan Islam sangat baik di kawasan yang mayoritas beragama Kristen di Nias.

Saya harus mengakhiri catatan di atas pesawat Wings yang menerbangkan saya dari Bandara Binaka ke Kualanamu ini. Teka teki belum bisa dijawab. Mengapa makam muslim dengan nisan gaya Aceh berada di kampung Nias di atas bukit, menyatu dengan arca kuno dan tradisi megalit kuno? (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *