Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf) (61) ‘Sepotong Surat Dari Tanah Leluhur’

MATAHARI sudah di atas kepala ketika Pesawat Mandala Air Line dari Manado mendarat di Soekarno Hatta.
Saat menuju pintu keluar, Mat Kilau bersama Paulina berpapasan dengan Pramugari Sonya. Sonya membuang muka, Mat Kilau tak mempedulikan sikap Sonya tersebut. Dia berjalan berdampingan dengan Paulina menuju pintu keluar Bandara. Sepasang mata tajam mengikuti langkah mereka. Di pintu keluar Mat Kilau berpisah dengan Paulina. Perempuan Manado tersebut naik taksi menuju Ragunan, melapor ke panitia penyelenggara Diklat. Ketika Mat Kilau hendak membuka pintu taksi yang akan membawanya ke Kemang, Jakarta Selatan, seorang perempuan berteriak menyebut namanya. Dia memutar tubuh ke arah suara panggilan itu. Jantung Mat Kilau berdegup kencang, perempuan itu luar biasa pesonanya. Senyum yang menggetar sukma. Dengan tenang Mat Kilau melambaikan tangannya, kemudian masuk ke dalam taksi tumpangannya.
Taksi melaju menuju jalan tol. Perempuan itu terpaku dengan lambaian kaku. Dia seperti tak percaya, Mat Kilau pergi begitu saja. Dia pun tersadar, segera tangannya diturunkan melangkah gontai menuju taksi. Perempuan itu masih bingung ke mana arah perjalanannya. Pelan-pelan dia menenangkan pikirannya. Dia memilih menginap di Jakarta, esok dia akan melangkah kemana takdir membawanya.

Sepanjang jalan menuju Kemang, ingatan Mat Kilau ke masa lalu, cinta kasih tumbuh bersama Paulina. Ingatan itu buyar, bayangan Sri Kumala mengikuti kemana pun dia pergi. Saat melintas di bilangan Antasari, handphone Mat Kilau berdering, nada panggil dari Lydia. Mat Kilau mengabaikan panggilan itu. Tiga kali panggilan tak direspon Mat Kilau. Lydia mengirim SMS, “abang ke Medan atau bermalam di Jakarta”, tak juga dibalas Mat Kilau. Lydia kesal, “sombong”, dia mengumpat.
Iba Mat Kilau luruh. Seperti keras-keras kerak, kena air lembut juga. Dia tak ingin menyakiti perempuan, tapi dia selalu menguji siapapun yang ingin dekat dengannya. Dia luncurkan SMS balasan, “sorry dok, tertidur tadi, dari Manado perut saya mulas. Dok, langsung ke Medan?”.
Berbunga-bunga hati Lydia. Dia segera menginfokan besok dia baru ke Medan. Dia mengundang Mat Kilau datang ke penginapannya, Hotel Arya Duta. Seperti terhipnotis Mat Kilau menyuruh driver taksi yang ditumpanginya berbalik arah ke Arya Duta. Mat Kilau menginfokan bahwa dia ke tempat Lydia menginap.
Lydia menunggu di lobby dengan dandanan ketimuran. Setengah jam kemudian Mat Kilau tiba di lobby hotel, disambut hangat Lydia. Mereka menuju restoran, makan siang dan ngobrol hingga senja jatuh di teluk Jakarta. Dan Mat Kilau pun tak jadi ke Kemang, dia nginap di Arya Duta juga.
Bukan main senangnya Lydia Mat Kilau nginap di tempat dia menginap. Mat Kilau melangkah berdua menuju kamar yang berdekatan.
Sebelum Mat Kilau membersihkan dirinya, dia baru teringat surat yang diberikan Sonya padanya di dalam pesawat Mandala.
Dia ambil surat itu, dibacanya berulang-ulang, “bang, aku tak mampu melepas bayangmu. Aku sadar, mimpiku hanya mimpi yang perih. Aku mengunjungi tempat kenanganmu, berharap kau ada di situ. Harapan itu seperti berharap gelas yang pecah berserakan di bumi menjadi utuh lagi. Biarlah kutulis jiwaku buatmu”, begitu bunyi surat Sonya.

Bacaan Lainnya

Malam itu, Mat Kilau mengelilingi kota Jakarta bersama Lydia. Mat Kilau berpikiran ganda, tak konsentrasi mendengar omongan Lydia. Mereka masuk ke Plaza Indonesia, duduk menikmati kopi malam. Tiba-tiba telepon Mat Kilau berdering, nada panggil dari sobatnya Tora. “Kilau, kau segera pulang ke Binjai, pesawat pagi besok.”
Tora tak menjelaskan kenapa Mat Kilau disuruhnya pulang segera. Tora selalu begitu, tak suka bertele-tele. Tak mau mendramatisir keadaan yang belum jelas.
Mat Kilau bersama Lydia kembali ke hotel. Lydia pun pulang bersama Mat Kilau dengan pesawat pagi ke Medan.
Subuh baru saja luruh di Soekarno Hatta. Ketika boarding, telepon Mat Kilau berdering, nada panggil dari Sonya. Mat Kilau mengangkat telepon, terdengar isak kesedihan dari Sonya, “Bang, sabar ya, maaf aku tak bisa datang karena terbang ke Batam”, dan nada pun terputus.
Mat Kilau mencoba menghubungi Tora, handphonenya tak aktif.
Pesawat menuju polonia meninggalkan landasan. Mat Kilau meninggalkan tanya ucapan Sonya barusan.
“Hidup harus dijalani, bukan disesali”, Mat Kilau bergumam. (***)

Binjai, 300720
Tsi Taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *