MALAM hilangnya Mat Kilau semua keluarga tuanya berkumpul di rumah ayahnya. Rapat dipimpin oleh Atok Mat Kilau, Tengku Husein Petir. Si Atok mengusulkan pada ayah Mat Kilau untuk menjemput Datuk Panglima Hitam, nujumnya jarang meleset untuk mencari sesuatu yang hilang. Dan Datuk Hitam adalah guru kebatinan Mat Kilau. Konon sang guru berguru di negeri Siam hingga Maghribi, sebenarnya ini negeri Maroko. Bangsa Arab menyebutnya Maghribi. Orang-orang yang mencari Datuk panglima Hitam dengan tujuan tidak baik, bisa berputar-putar di seputar rumah dan tercemplung dibawa arus sungai yang deras. Dan dia juga memiliki ilmu menghilang yang handal.
Dia bersahabat dengan ayah Mat Kilau, Tengku Tualang Gayo.
Dia menyambut ramah kedatangan sahabatnya itu. Dengan senang hati dia memenuhi permintaan Tengku Tualang Gayo, ikut dalam pertemuan mencari keberadaan Mat Kilau.
Pertemuan malam itu panas, tegang, semua muka ketat. Hanya Datuk Panglima Hitam dan Tengku Husein Petir yang tenang, menunjukkan kematangan mereka dalam menghadapi masalah. Tengku Tualang Gayo, ayah Mat Kilau kelihatan sangat gusar. Dia tahu karakter anaknya, jika anaknya itu bilang tidak, tak seorangpun yang mampu melunakannya, kecuali atoknya dan Datuk Panglima Hitam. Tapi ayahnya sadar keduanya sangat menyayangi Mat Kilau. Tipis harapan Mat Kilau dapat ditundukkan, apalagi Mat Kilau tahu sifat angkuh Sri Kemala. Dia putri bangsawan Melayu yang hidup dalam kemewahan.
Ayah Sri Kemala, Tengku Usman Pelor, berkali-kali memukul lantai papan tempat mereka bermusyawarah. Dia akan kehilangan muka bila Mat Kilau menolak dinikahkan dengan putrinya. Tunangan mereka sudah sampai ke Indragiri.
Tiba-tiba Datuk Panglima Hitam menyergah, “Hey, Usman Pelor, jangan kau pukul lantai itu, kupecahkan kepala kau nanti.” Semua senyap, rambut Datuk Panglima Hitam sudah tegak lurus, emosinya meletus.
Sejurus kemudian, Datuk Panglima Hitam berteriak, “Kilau naik kau, jangan jadi pengecut”. Mat Kilau yang berada di kolong rumah yang bertangga itu bergegas naik. Mengucapkan salam dan mencium tangan pada semua yang hadir. Lalu dia duduk di samping Datuk Panglima Hitam. Datuk Hitam menyuruh Mat Kilau menyuarakan hatinya. Dengan tenang dia bertutur lembut, “Maaf ayahanda tercinta, patik sudah punya pilihan. Patik tiada hendak mengecewakan hati perempuan pilihan emak sewaktu dia masih hidup. Patik mohon diri menjenguknya yang lagi opname di Rumah Sakit Bangkatan. Bagai kilat dia menghilang di kegelapan malam. Hadirin hanya mampu tercengang, pertemuan pun bubar. Tersisa pertikaian keluarga yang tak pernah usai. “Langkah, pertemuan, rejeki dan maut hanya Allah yang tahu”, ayah Mat Kilau bicara pada dirinya sendiri. (***)
Binjai, 190720
Tsi taura.