Hujan masih merintik, angin bertiup kencang, Mat Litak dengan sepeda motor Yamaha R125 menembus malam menuju rumah satu geng-nya, Hang Kilau, yang kini menyepi di kaki gunung Leuser, tak jauh dari kota Bahorok, Langkat, Sumatera Utara. Mereka adalah preman tanah melayu yang sangat disegani dalam kelompoknya. Mat Litak, saat tiba di rumah Hang Kilau, sobatnya tersebut baru saja selesai makan malam. “Langkah kiri kau”, katanya pada Mat Litak.
Mat Litak tersenyum dan menghempaskan tubuhnya di sofa kayu. Hang Kilau dengan cepat membaca raut muka sahabatnya. Dia mendengar segala keluh kesah sahabatnya itu. Dia menyarankan, “jangan pergunakan tanganmu, Mat Litak. Kau tenang saja, seminggu paling lama, ada yang menyeretnya kemari.”
Mat Litak hanya membisu. Tapi darahnya menggelegak.
Pagi-pagi dia pamit pada Hang Kilau. Dan berharap Hang Kilau membereskan pembunuh ibunya.
Hang Kilau melihat keraguan sahabatnya. Lalu dia menutur,”Mat, buang keraguanmu, yakinlah kau persahabatan kita seperti rambut bersimpul mati”, kata Hang Kilau.
Mat Litak kembali ke Jakarta. Ketika keluar terminal Soekarno-Hatta badan Mat Litak mengalami keletihan yang luar biasa. Suhu tubuhnya meninggi, kerongkongan perih. Bersamaan dengan waktu tersebut, Hang Kilau mengabarkan bahwa pelaku begal itu adalah adik istri Mat Litak. Mat Litak tak menanggapi informasi dari sahabatnya tersebut. Dia teringat temannya semasa remaja yang konon menjadi pejabat, namanya Tora Idris.
Taksi melaju ke rumah sahabatnya itu. Di pintu pagar dia terhuyung dan jatuh. Kata dokter dia hanya menderita flu biasa.
Hampir seminggu dia di rumah Tora Idris, dia pamit melamar kerja sebagai supir ambulans pengangkut jenazah korban Covid-19. Dengan bantuan Tora Idris, dia diterima bekerja di salah rumah sakit yang menangani pasien Covid-19. Di hari pertama bekerja dia diperintahkan membawa mayat petugas medis yang terjangkit virus yang belum ditemukan antinya.
Jantungnya berdebar-debar, keringat dingin membasahi raganya. Dia begitu kalut. Itulah pengalaman pertamanya membawa jenazah dengan ambulans.
Saat upacara pemakaman dilaksanakan, dia merasakan langit runtuh menimpanya. Protokol pemakaman membacakan riwayat hidup tenaga medis bernama Aini Kalsum, kelahiran Bahorok, layak disebut pahlawan kemanusiaan. Mat Litak berlari memeluk peti mati istrinya dengan tangis yang tak tertahankan olehnya. Seorang dokter menutur lembut padanya, “hidup ini hanya persinggahan, tetapi kita tak pernah tahu di mana nyawa kita singgah terakhir kali, ikhlaskan, itu takdir yang siapapun tak mampu menolaknya”.
Mat Litak mengangguk, menabur kembang “Aini, cinta kita berkubur di telapak tangan”, Mat Litak bergumam.
Bdg, 010520
Tsi taura