Hampir tiga tahun aku tak menelusuri rumah di pinggiran sungai, rumah teman yang pernah menolongku ketika dilantak arus deras, nyangkut di ranting bambu yang menjulur. Namanya Wak Lotup, kalau becakap, sepuluh yang meluncur, sebelas komburnya melotup, itulah mulanya ia digelar Wak Lotup. Saat aku tiba di rumahnya, Wak Lotup lagi termenung, duduk mencangkung di muka pintu berlantai tanah. Salamku lama dijawabnya, dia terkejut ketika kusapa namanya dengan suara yang agak keras. Dia langsung berdiri memelukku sambil menangis ia meratap, “Wak perempuanmu meninggal tiga hari yang lalu.” Dia melepaskan pelukan, ke dapur membawa tikar pandan yang cabik. Kami ngobrol di situ.
Di seberang sungai tak berdinding, terpampang rumah-rumah mewah bergaya arsitektur Spanyol. Kontras sekali dengan hunian Wak Lotup. Lamunanku terkerat, Wak Lotup menutur, “Tora, covid-19 melumpuhkan ekonomi kami”. Wak Lotup adalah pekerja harian, di luar rumah. Wabah corona mengurung langkahnya mengais rejeki. Bantuan sosial tak pernah singgah di rumahnya. Dicobanya keluar rumah, di jalan dihalau petugas. Hari-hari dia meminta pertolongan pada siapa saja yang ditemukannya. Rasa malu pelan-pelan merayap jiwanya. Seminggu yang lalu, dia dan istrinya hanya minum air yang tak steril, dua hari berturut-turut, istrinya meninggal. Wak Lotup tiba-tiba meraung panjang dan berhenti ketika suara azan sayup-sayup singgah di tempat kami duduk.
“Tora, kau jangan jadi orang biasa seperti kami, kalau orang biasa, cerita tentangmu akan biasa-biasa saja, tak ditulis dengan tinta emas. Hanya seperti buih kecil lenyap dicumbu ombak”, kata Wak Lotup. Aku mengangguk, ingin menangis tanda berduka, sayang air mataku habis terkuras menyaksikan berpuluh orang senasip Wak Lotup. Dia tidak membiarkan istrinya mati kelaparan, tapi ibarat kapal istrinya telah menyelesaikan perjalanan yang penuh gelombang dahsyat, tuturnya padaku. Dia pun terkulai, kudengar dia mengucap Allah dan dengan tenang Wak Lotup menyusul istrinya.
Bdg, 220420
Tsi taura