Bandung pagi ini, matahari masih berkabut, udara dingin menusuk raga, angin bertiup lembut, dalam suasana itu aku melaju menelusuri jalan raya tol menuju Jakarta. Ke Jakarta untuk memenuhi janji yang beberapa kali tak bisa kutepati, bertemu kawan lama yang tahun lalu dilantik Presiden sebagai orang nomor satu di sebuah instansi penegak hukum, di bilangan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tak ada hambatan untuk tiba di areal ruang kerjanya, walau ruang tunggu tamu sudah penuh menunggu antrian menemuinya. Aku mengenal mereka semua, beberapa di antaranya menyilakan aku duduk, gantian dia berdiri, aku menolak tawarannya.
Sebenarnya aku sungkan menemuinya, apalagi aku sudah pensiun dini. Kami pernah sama bertugas di daerah, dan pernah dibuang di daerah konflik karena kami tak pernah mau kompromi dengan kejahatan yang merugikan keuangan negara. Dan kami bertemu lagi sekantor di Bandung, dengan jabatan yang berbeda, eselon yang sama. Ini yang menguatkan hatiku, persahabatan kami tak memiliki sekat. Lamunanku terpotong, ajudannya menyilakan aku masuk. Aku tak enak hati juga, yang menunggu tetap menunggu, aku hanya menunggu tiga menit, mungkin ia melihatku lewat cctv, dipanggil duluan.
Ketika aku melangkah di depan pintu kamar kerja, pintu sudah terkuak, dengan senyum yang renyah ia menyambutku. Hampir lima tahun kami tak bertemu, ia memelukku, menuntun jalan ke ruang tamu. Semula setelah bersalaman dan mengucapkan selamat, aku ingin pamit karena banyak staf yang lain menunggu untuk bertemunya. Dia mencegahku, ngajak ngobrol tentang masa lalu, kini dan masa depan. Aku tak bisa membantah, berderai gelak ketika aku berguyon. Kututur pesan untuk membangun antisipasi. Diapun berkelakar, memiliki sebuah bulan, dibelah dua, sebelah buatnya, sebelah buatku. Dan akupun pamit membawa sebelah bulan, malam gelapku bercahaya, di tengah amuk covid-19 menggetar dunia, cahaya seorang sahabat yang langka ditemukan ketika mendadak memegang kekuasaan.
Bdg, 180420
Tsi Taura