Oleh: tsi taura
ANTAPANI, Bandung tempat tinggalku pagi ini diguyur hujan, nyaris setiap hari begini, aku berkurung di ruang perpustakaan, menulis membaca kegiatanku setiap hari. Tiba-tiba aku dikejut berita yang kubaca di hp ku. Mirna yang bertugas sebagai perawat menangani kasus covid-19 meninggal dunia di kota kelahiranku negeri antah-berantah. Dia gadis yang baik, ramah, cantik berlesung pipit, rambut sebahu, berkulit sawo matang, dan suka membantu siapa saja. Dia tetanggaku, ayahnya petani. Mendengar kabar dari temannya, aku terenyuh tak terasa air mataku bergulir membasahi buku di meja kerjaku. Yang membuatku teramat sedih, mayatnya tak diterima dimakamkan di tanah wakaf ayahku. Ibunya mengiba-iba pada warga kampung kami, semua mengacuhkannya.
Dua minggu yang lalu ia meng-WA-ku, “bang, kurasa umurku tak panjang lagi, kalau aku mati nanti, aku mau dimakamkan di tanah wakaf abang.” Kemudian hp-nya tak aktif lagi, berkali-kali kuhubungi, yang menjawab kemarin suara gagak hitam yang menyayat sukma di pohon, depan rumahku.
Aku tak bisa mudik, anak-anak dan istriku di Bandung semua. Aku menghubungi keluargaku, semua tak berdaya melawan kepicikan pemikiran mereka. Menolak keras, perawat kemanusiaan itu dimakamkan di tanah wakaf ayahku. Rasanya aku ingin terbang melawan, meremukkan kepicikan itu. Bukankah kematiannya kematian syahid yang harus dihormati sebagai mana layaknya para pejuang di jalan Allah.
Si ibu tetap bersujud memohon agar putrinya di makamkan sesuai permintaan almarhumah semasa hidupnya. Alhamdulillah, aku bisa menghubungi pengetua adat, “makamkan dia di tanah wakaf ayahku , jika tidak kupindahkan semua makam di sana kecuali keluargaku. ” Mungkin mereka tahu gilaku kalau sudah marah, Mirna sore nanti dimakamkan di tanah wakaf ayahku mengikuti aturan yang telah ditetapkan penguasa. (**)
Bdg, 110420, tsi taura