JAKA Perdana dengan muka bonyok tiba di Bandara Kualanamu. Suasana masih sepi. Dua jam mendatang jadwal keberangkatannya. Ia memasuki kantin yang ada ruang smokingnya. Di ruangan itu yang merenung nasib. Ia kapok menguak misteri kalung kembar yang dipakainya bersama Tengku Sita.
“Biarlah waktu yang menguak misteri itu”, dia bergumam di ruang smoking Bandara. Ia tak menyadari sepasang mata liar mengawasi gerak-geriknya.
Tiba-tiba lelaki berkumis tebal, berjaket dan berkaca mata hitam mendekatinya:
“Kenapa muka babak belur begitu”, tanya lelaki itu setengah berbisik.
“Apa perlumu, kau siapa nanya-nanya begitu”.
Lelaki berjaket itu tersenyum sinis, dan membalas ucapan Raka, “kau jagoan dari mana”, kata lelaki itu sambil memegang kerah baju Raka Perdana. Raka berdiri hendak menghantam muka lelaki berjaket tersebut. Lelaki itu tenang di tempat duduk sambil menarik asap rokoknya.
“Jangan begitu kasar hai anak muda. Saya kan tanya baik-baik lalu kenapa kau begitu sombong menjawabnya. Duduklah tak usah hendak memukulku.”
Raka menyadari kekeliruannya, “maafkan saya bang.”
“Kau Raka Perdanakan? Anak Lebai Harun?”
“Kok abang tahu?”, tanya Raka.
“Perempuan lonte mana yang tak mengenalmu, germo yang licik menipu gadis-gadis desa yang kau jual kepada para hidung belang.”
Raka tersentak tajam, “siapa lelaki ini? Aku harus waspada”, Raka membatin.
Lelaki berjaket itu mengunjam lagi, “kau juga berniat membawa Ningrum dan Sita ke Jakarta? Kalung yang kau pakai itu tiada misterinya. Itu siasat alm Tengku Ulung Alas menjebakmu. Kau bukan anak lebai Harun dan lebih-lebih kau bukan anak alm Ulung Alas. Kau anak seorang perempuan yang hamil tanpa nikah. Ibumu setelah melahirkan lari entah kemana.”
Raka dengan cermat mendengar kisah hidupnya itu. Baru kali ia mendengar kisah tentang dirinya.
Lelaki berjaket itu melanjutkan cerita, “ayah angkatmu seorang pecundang yang culas. Dalam pertarungan yang curang dia dapat mengalahkan Ulung Alas. Ulung Alas meneken warkat, kalau kelak anaknya lahir laki-laki, anak itu harus diserahkan padanya.
Raka memandang menunduk menyimak kisah hidupnya.
“Istri Ulung Alas melahirkan kembar, satu perempuan satu lelaki. Yang perempuan itulah yang bernama Sita.
Ulung Alas bersepakat dengan perawat bahwa bayi lelaki itu Ulung Alas yang membiayainya. Kabar tentang Ulung Alas memiliki anak lelaki diketahui Lebai Harun. Ia segera menagih janji Ulung Alas. Ulung Alas seorang yang cerdik, bayi lelakinya dititipkan sementara kepada dokter rumah sakit yang menangani persalinan anak kembarnya.
Dengan lakon yang sempurna, Lebai Harun terkecoh, anak lelaki yang diambilnya adalah anak seorang perempuan yang lahir di luar nikah.
Sebelum Lebai Harun datang, Ulung Alas membeli dua kalung yang mirip bentuk dan ukurannya. Satu dikalungkan ke leher Sita dan satu lagi ke lehermu, anak haram jadah”, kata lelaki berjaket mulai naik emosi.
Hanya dia dan datuk Panglima Hitam yang mengetahui cerita tersebut.
Dan mereka sepakat jika dalam waktu tujuh purnama, Raka masih berada di tanah melayu, rahasia itu harus dibeberkan. Tengku Tora dan Tualang ditugasi datuk Panglima Hitam untuk mempersempit ruang gerak Raka Perdana.
Tan Tualang muncul dengan calon istrinya. Ia bertepuk tangan, “kena batunya kau Raka.
Raka tersudut hendak berlari keluar ruangan rokok itu.
Tualang menjegal kakinya dan mengirim sebuah pukulan telak ke dagu Raka.
“Tora, kita selesaikan budak ini dahulu. Tunda keberangkatanmu.
“Kau bereskan sendiri saja Tualang. Orang Ini berniat buruk terhadap Ningrum dan Sita. Darah Tualang menggelegak.
Tora boarding, keluar ruangan dengan sebuah senyuman. Tan Tualang dan Sita mengikuti langkah Tora naik pesawat.
Sementara Raka kelimpungan. Hatinya menjerit, dia berniat tidak akan ke Jakarta sebelum ia menemukan ibu kandung.
“Masa lalu tak perlu ditangisi, hari esok harus lebih baik dari hari ini”, begitu tekad Raka yang membara. Ia kimbah segala administrasi rumah sakit tempat ia dilahirkan.
Dan dia memilih kost yang berdekatan dengan rumah bersalin. Dia yakin lelaki berjaket itu tidak berdusta.
Sita begitu kaget mendengar cerita tentang Raka dari mulut Tora sendiri, lelaki yang amat menyayanginya. Kini tugasnya adalah mencari tahu keberadaan saudara kembarnya yang asli. (***)
Medan, 090920,
tsi taura