TAN Tualang sudah lama tak menginjakkan kakinya ke tanah leluhurnya, Bohorok dan Sukaraja. Ketika banjir bandang menggulung Bohorok dan Bukit Lawang, ia bersama Tok Mejin sedang berada di perairan selat Malaka.
Mereka adalah komplotan lanun yang sangat ditakuti kelompok lanun lain. “Saudara berempat nama kelompok lanun yang dipimpin Tan Tualang.
Sebelum banjir bandang datang menyerang, Bukit Lawang kampung yang riuh di malam hari. Gubuk-gubuk darurat berjejer dengan dentuman musik dangdut. Gubuk-gubuk maksiat menjamur menodai kampung suci dan religi. Turis-turis asing banyak yang singgah meriset keberadaan Mawas (Orang Hutan) yang semakin punah. Tuhan menegur mereka, memporak-perandakan gubuk-gubuk bordir tersebut.
Kehancuran tak membuat masyarakat sekitarnya berpangku tangan. Hotel-hotel mungil dibangun, vila-vila menjamur. Ingar-bingar mengusik sunyinya malam. Lampu berkedip-kedip terlihat dari puncak bukit hingga ke dasar bumi. Air sungai yang bening dan sejuk menambah pesona Bukit Lawang. Bukit Lawang, Bohorok dan Sukaraja bertetangga. Orang-orang Melayu masih bertahan di Bohorok dan Sukaraja. Mereka lebih senang berkombur di warung-warung kopi, sedikit saja yang berpikiran maju, keluar merantau jauh.
Petang itu di awal bulan Juni 2017, Tan Tualang duduk di sebuah kedai makanan yang menyiapkan menu ikan-ikan sungai, jurung, lemeduk, cencen dan sridan. Dengan gulai asam terong, sambal kecap, membuat peluh selesai melahapnya.
Satu pun tak ada yang mengenal Tan Tualang tapi dia sangat ingat pada makcik penjual nasi itu.
Anaknya Sri Maharani seorang Jaksa di metropolitan. Mantan staf Tengku Tora. Orangnya gesit, kukuh pendirian dan amanah. Jelita pula, lengkaplah pujian buatnya.
Saat Tan Tualang berada di kedai nasi ibunya, Sri Maharani lagi cuti. Tanpa sungkan membantu ibunya menghidang pengunjung.
Tualang yang berkaca-mata gelap, berjaket kulit, berkumis tebal, dengan leluasa memandang Sri Maharani. Dia sangat mengenal perempuan itu melalui Tora. Tualang selalu bertandang ke kantor Tora.
Tualang ingin menyapa Sri Maharani tapi dia sungkan. Tanpa disadari Tualang, Sri Maharani mencuri pandang.
“Sepertinya aku kenal lelaki ini, suaranya yang serak-serak basah, postur tubuhnya, tapi di mana ya”, Sri Maharani bertanya pada dirinya sendiri.
Tualang yang sudah bertaubat menjadi hantu laut, tiba-tiba bertanya pada emak Sri, “makcik, dari tadi saya tak melihat pakcik Burhan…”
Pertanyaan itu mengagetkan makcik Balqis dan putrinya, “engkau kenal dengan suami makcik?”.
Tualang mengangguk.
“Orang melayu baru berkuku sudah hendak mencakar”, dia nikah lagi dengan peronggeng boru Surbakti, nak.”
Tualang tak hendak menambah luka makcik Balqis. Dia membayar makanannya, dan ketika hendak melangkah, ia dicegat Sri Maharani.
“Boleh buka kacamata kanda?.”
Perlahan Tualang membuka kacamatanya.
Sri Maharani tersenyum, Tualang Terpana. Si ibu di balik pintu kedainya, berdegup jantungnya. “Luar biasa tampannya lelaki itu”, dia bergumam.
Tualang kembali memakai kacamatanya, sebelum mengurak sila, ia membisikkan sesuatu pada Sri Maharani.
Sri mengantarnya hingga Tualang masuk ke mobil, melaju ke arah Bukit Lawang. (***)
Medan, 040920,
tsi taura