LIMA purnama sudah berlalu, Tengku Ulang Alas berpulang ke alam keabadian. Raka Perdana belum juga mengetahui rahasia kalung kembar yang ia miliki bersama Tengku Sita Maharani.
Seluruh pelosok Bohorok dan Sukaraja ia telusuri, mencari tahu secara dalam tentang siapa sebenarnya Ulung Alas dan Tengku Sita. Ia bagai mencari jarum di dalam tumpukkan jerami. Putus asa mulai merubuh semangatnya.
Tiba-tiba dia teringat dengan sosok tua yang sakti, Datuk Panglima Hitam.
“Aku harus segera menemukannya, aku yakin ia banyak tahu tentang Ulung Alas dan Tengku Sita”, ia bicara pada dirinya sendiri.
Nama Datuk Panglima Hitam sangat tersohor di seputaran Bohorok dan Sukaraja. Tak begitu sulit baginya untuk mencari tahu di mana Panglima Hitam menghabisi sisa masa tuanya.
Di simpang kramat jalan menuju ke rumah Panglima Hitam, ia bertemu dengan Tan Tualang. Ia tak mengenal secara utuh lelaki tampan yang sudah berusia kepala lima itu. Lelaki tersebut masih kelihatan gagah dan perlente. Ia sedang ngopi dengan beberapa orang tua.
Raka mengucapkan salam, Tan Tualang membalas ramah.
Ingatan Tan Tualang belum hapus, lelaki yang akrab dengan Sita saat kematian Ulung Alas.
Raka memilih duduk berhadapan dengannya.
“Hei, apa kabar anak muda?”, sapa Tualang dengan senyum keakraban.
“Kabar baik, kanda. Kalau tak salah, kanda hadir saat pemakaman pakcik Ulung Alas.
“Iya, dinda Raka Perdana kan?.”
“Iya kanda, bolehkan dinda bertanya sesuatu tentang pakcik Ulung Alas dan Sita?”.
Tan Tualang memandang satu persatu, pengunjung warung kopi itu. Mereka paham, lalu cabut tanpa membayar sepeserpun pada Wak Kolok pemilik warung. Mereka sudah terbiasa ditraktir Tualang.
“Apa yang hendak dinda tanyakan?”, tanya Tualang pada Raka.
Raka tertunduk, tak mampu memandang sorot mata Tualang yang tajam
“Jangan takut untuk menanyakan sesuatu untuk mencar kebenaran”, kata Tualang lagi membuka diri.
Raka menyusun keberaniannya yang nyaris karam dalam laut keingintahuan menyingkap sebuah misteri. Misteri Kalung kembar.
“Kenapa kalung yang dinda pakai mirip yang dipakai Tengku Sita, kanda?”.
Lama Tualang tersenyap, ia sedang memikirkan jawaban apa yang mesti ia tuturkan.
“Kanda hanya mengutip apa yang dikatakan Datuk Panglima Hitam, dinda tak boleh hidup bersama dengan Sita. Terjemahkanlah itu. Dindakan seorang ahli hukum pasti mampu menyingkap rahasia ucapan Panglima Hitam”, kata Tualang.
“Dinda dan Sita bersaudara kandungkah?”, Raka menebak misteri tersebut.
Tualang tergelak panjang.”
Dan bertutur lembut, “matahari takkan bertanya kenapa bulan kenapa bersinar di malam hari.”
Gantian Raka yang tergelak, Tualang mengirup kopi yang tersisa digelasnya. Menyulut rokok yang tinggal sebatang lagi.
“Satu hal lagi yang perlu dinda ketahui, Sita adalah waris Tanah melayu yang tak dapat kau petik kembangnya”, kata Tualang.
Mereka lalu beradu pandang.
“Dan tak lama lagi dia akan dipersunting lelaki idamannya”, kata Tualang seakan menunggu reaksi Raka.
Tiba-tiba keringat Raka bercucuran di muka. Berita itu bagai petir di siang bolong.
“Siapa lelaki idaman Sita itu kanda?”
“Kita tunggu saja bulan di lintasan sungai Wampu.” (***)
Medan, 030920,
Otsi taura.