TENGKU TORA sudah lama tak mengunjungi gurunya di Sukaraja Bohorok. Biasanya tiap malam purnama dia mengunjungi gurunya itu, Tengku Ulung Alas. Di malam purnama sang guru akan membuka tabir rahasia kehidupan manusia yang dikenalnya, dan pada waktu itu pula dia menurunkan ilmu pada murid-muridnya, ilmu dunia dan akhirat. Orang kampung biasa menyebutnya dukun sakti sungai wampu. Pendekar yang telah malang melintang di perairan Selat Malaka.
Menjelang purnama itu Tora seakan mendengar bisikan, “pergilah ke Sukaraja, gurumu merindukanmu.”
Tora mengajak anaknya Tan Bima menemui sang guru.
Senja baru saja berlalu menjemput malam. Raka dan Sita gelisah menunggu purnama sekejap lagi terpampang di langit biru. Selepas maghrib, Sita mengajak Raka duduk di tepi kolam, di belakang rumahnya. Di situ ada sebuah taman kecil yang dikelola ayah Sita, taman mungil yang indah. Tempat duduk yang terbuat dari kayu meranti, dengan peneduh berbentuk payung berijuk.
Di situlah Raka dan Sita berbincang tentang keindahan malam namun menjadi tawar saat detik-detik purnama tiba.
Tengku Ulung Alas sejak maghrib belum bergerak di atas sajadah. Berzikir dan selawat hingga Isya tiba. Dia bermaksud sesudah shalat Isya, dia turun tangga menuju taman yang dinanti Raka dan Sita, apa yang hendak dia ungkapkan.
Waktu terus berjalan, isya telah berlalu, purnama mulai tersenyum di atas kolam. Ikan-ikan di kolam senyap, biasanya diserak makanan, ikan-ikan itu bermunculan, menari indah di bawah purnama. Tetapi malam itu mereka seakan tertidur lelap.
Tengku Ulung Alas belum juga turun. Sita mulai curiga kenapa ayahnya belum juga menemui mereka dan bercerita rahasia di bulan purnama?.
Perasaan Raka tak enak, dia begitu gelisah ingin segera menemui Ulung Alas.
Dari kejauhan Sita melihat dua sosok lelaki tampan berjaket hitam berjalan mengarah ke rumahnya. Langkah Sita terhenti hendak menemui ayahnya. Dia menunggu siapa dua lelaki berjaket itu tiba di pintu pagar.
Sita tersorak gembira, “pakcik Tora….”, dia pun menyongsong Tora dengan penuh kerinduan. Dia tak memperdulikan teman Tora. Dipeluknya dengan sangat erat tubuh Tora, seperti rindu anak pada ayahnya. Tora mengusap-usap rambut Sita dengan penuh kasih sayang.
Tan Bima, putra Tora terperangah melihat adegan di bawah bulan purnama itu. Dia tertanya-tanya siapa perempuan ini? Anak ayahnya kah? Jangan-jangan ibu tiriku.”
Tora cepat membaca jalan pikiran Tan Bima, “Sita, ini Bima, anak pakcik. Bima, ini Sita, putri melayu yang jelita, anak guru ayah. Ayo bersalaman.” Cahaya purnama cukup menerangi wajah Sita buat Bima. Mereka bersalaman, masing-masing melempar senyuman yang menawan.
Raka membutir cemburu. Dia kalah tampan dengan Bima. “Rahasia inikah yang akan dikuak pakcik Ulung Alas, bahwa Sita telah dijodohkan dengan lelaki ini?”, Raka bertanya pada dirinya sendiri.
“Ayah sehat?”, tanya Tora sambil melangkah ke rumah gurunya itu.
“Sehat pakcik, dia selalu menyebut-nyebut pakcik kenapa begitu lama tak menjenguknya.” Kata ayah, “jika bulan ini pakcik tak datang, kami ke Bandung. Melihat pakcik dan bunda Marissa.
“Ayah….ayah, pakcik Tora datang”, pekik Sita agar ayahnya menyambut Tora. Tak ada sautan. Tora, Sita, Tan Bima dan Raka naik ke rumah. Duduk di lantai kayu, sementara Sita menuju kamar ayahnya.
Tengku Ulung Alas tergeletak di atas sajadah. Spontan Sita menjerit, “ayah…ayyaaah.,bangun yah..,bangun.”
Tora melompat dari duduknya melangkah ke arah suara Sita.
Diperiksanya nadi gurunya itu, dibukakannya sebelah mata gurunya tersebut. Tubuhnya sudah mendingin.
“Innalillahi wa innalillahi rojiun”, Tora berdesis haru.
Sita memekik panjang. Tora memeluknya, “nanda jika sayang pada ayah, mari kita ikhlaskan kepergiannya.”
Sita mengangguk.
Tan Bima memberitahu orang kampung dan kentunganpun berbunyi.
Raka bergumam, “pakcik pergi dengan menutup rahasia yang akan diungkapkannya. Siapakah pemegang kunci rahasia selain pakcik Ulung?”. (***)
Binjai, Agustus 2020,
tsi taura.