TENGKU Ulung Alas tertanya-tanya kenapa Raka pingsan dan pingsan lagi. Ia mengeluarkan kemampuan pengobatan paling tinggi yang dimilikinya. Dia membalik-balik tubuh Raka sambil menyembur sirih tujuh urat. Sementara itu, Raka seakan berada di alam lain, Ningrum datang dengan gaun putih, tersenyum sekejap, lalu membalikkan tubuhnya berjalan cepat di areal tanah kosong. Raka mengejarnya. Ningrum membalikkan tubuhnya berhadap pandang dengan Raka. “Jangan ikuti aku Raka, masih banyak orang yang membutuhkan dirimu. Kembalilah ke alam sadarmu”, kata Ningrum dan menghilang.
Tak berapa lama kemudian, Raka sadar dari pingsannya. Dia pandang Ulung Alas dan Tengku Sita. Badannya terasa segar, azan ashar berkumandang. Dia bangkit dengan dada telanjang. Pamit membersihkan diri ke sungai. Sita mengantarkannya di tepian tempat lelaki mandi. Dan Sita pun menelusuri tepian putri.
Hampir setengah jam Raka berendam di sungai yang bening itu. Menuju pulang pikirannya mulai tenang, seakan dia lupa apa yang sudah terjadi pada dirinya. Sita lebih dulu tiba di rumah.
Raka menunaikan shalat ashar bersama Sita dengan Imam Tengku Ulung Alas.
Pulang dari rumah sakit Bangkatan, Sri Malem Tarigan, adik Senjata Tarigan mencari keberadaan Raka. Lelaki yang menjadi impian ibunya menjadi pendamping hidup.
Tak seorang pun yang tahu keberadaan Raka. Dia menelusuri puing-puing rumah yang remuk tak berbentuk akibat banjir bandang. “Seperti mimpi yang tersadar di siang hari. Cinta dan kematian tak dapat dinujum datangnya”, Sri Malem bicara pada dirinya sendiri.
Dia kembali ke tenda pengungsian, malam dia bersenandung. Burung-burung seakan turut berduka, menyimak ratap senandung Sri Malem. Konon dia memiliki ilmu petunang yang diwariskan ayahnya. Suaranya merdu bukan kepalang, bagai buluh perindu ditiup gadis bunian.
Seorang putra di kampung sebelah membalas senandung itu. Merinding bulu roma orang-orang di tenda pengungsian.
Dua anak manusia itu saling bertanya di hati, “siapa putri tersebut, siapa pemuda itu?.”
Seusai shalat ashar berjama’ah, Tengku Ulung Alas mengajak Raka dan Sita ngobrol di kursi rotan beranda muka.
“Raka, boleh pakcik tahu siapa orang tuamu?”
“Saya anak tunggal Lebai Harun. Ibuku bernama Tengku Cantik. Kami tinggal di kampung sebelah di pedalaman sungai Mencirim Binjai. Ayahku pengusaha getah di pulau Rambung. Konon, ibu dulunya penari ronggeng”, itu yang saya tahu tentang orang tua saya.
Ulung Alas terdiam beberapa menit, ingin rasanya memeluk Raka dengan kerinduan yang panjang. Ingatannya ke masa silam. Lebai Harun saat itu menjenguk istri Ulung Alas, Sri Lestari melahirkan bayi kembar, lelaki dan perempuan. Menurut kepercayaan leluhurnya, bayi itu harus dipisahkan. Saat itu Lebai Harun yang lebih dulu menikah dari Ulung Alas, tapi sudah tujuh menikah belum dikaruniai anak.
Ulung Alas menawarkan salah seorang anaknya diangkat menjadi anak lebai Harun. Pucuk dicinta ulam pun tiba, tengku Cantik, istri lebai Harun merasa bersyukur memperoleh anak angkat. Sayang, ketika usia anak angkatnya 7 tahun, tengku Cantik meninggal dunia diserang malaria tropika.
Sita menegur ayahnya ketika dilihatnya ayahnya meneteskan air mata.
“Ayah, kenapa ayah menangis?” Siayah cepat menyapu air matanya.
Dia belum mau bercerita pada Raka dan Sita, tentang kalung yang dipakai Sita dan Raka. Dia tahu betul, Sita telah jatuh hati pada Raka. Dia menunggu waktu yang tepat untuk membuka rahasia dua kalung itu.
“Pakcik, ijinkan saya besok pulang ke Batavia. Sudah hampir seminggu saya tak ngantor”, kata Raka.
“Tunggulah dua hari lagi bulan purnama tiba, ada yang ingin pakcik sampaikan padamu dan Sita.
Sita dan Raka berpandangan bagai dua sejoli yang sedang diamuk asmara.
Raka mengangguk.
Sita seperti diterjang ombak. Dadanya bergemuruh menunggu purnama tiba. (***)
Binjai, 190820,
tsi taura.