TENGKU SITA MAHARANI memandang cemas kondisi Raka Perdana. Ditatapnya wajah ayahnya, Tengku Ulung Alas. Tatapan yang mengisyaratkan pertanyaan bagaimana kondisi Raka yang sebenarnya. Siayah cepat menangkap kecemasan putrinya, “usah gaduh kali engkau Sita, dia hanya kelelahan, kejap lagi bangunnya dia.”
Ulung Alas mendekati tubuh Raka, dibukanya baju Raka yang kuyup keringat. Disuruhnya Sita mengambil baju salin, handuk dan air hangat. Postur tubuh Raka tak jauh beda dengan Tengku Ulung Alas. Sita memilih pakaian ayahnya yang sesuai dengan Raka.
Dengan penuh kasih sayang, Sita menyeka tubuh Raka. Mengganti pakaian Raka yang sudah menyengat bau-nya.
Lelaki itu berkalung membuat getar yang hebat pada jantung Ulung Alas. Seakan dia terlempar jauh ke masa silam. Dipegangnya kalung itu, dibolak- baliknya mainan kalung tertera huruf yang membuat dia semakin nanar.
Ulung Alas bergegas ke kamar semedinya. Sita tergagap. “Kalung itu kenapa….”, Sita membatin tak meneruskan kalimat yang tersekat di kerongkongannya.
Ulung Alas membuka peti besi yang berisikan warkat-warkat penting. Sementara di ruang tengah tempat Raka terbaring di katil besi tua yang masih kokoh, Sita tertanya-tanya dalam hatinya, “siapa sebenarnya pria tampan ini?.” Raka pun terbangun dari tidurnya yang lelap. Pelan dia bangkit beradu pandang dengan Sita. Sita tersenyum, Raka tertanya-tanya siapa perempuan tersebut, di mana dia kini, kenapa sampai di sini.
Haus singgah di tenggorokannya, “dinda, bisa minta teh manis panas?”. Sita langsung bangkit, “bentar ya kanda.” Sita bergegas ke dapur, pintu kamar semedi ayahnya terkuak lebar. Sita melongok ke dalam. Dilihatnya ayahnya membongkar warkat-warkat di dalam peti yang sudah lama tak dilihatnya. Karena pintu semedi itu lebih banyak tertutup dari terbuka.
Sita kemudian melangkah menyiapkan teh manis Raka.
Tiba-tiba Ulung Alas tersedak seusai membaca sebuah warkat tentang kalung yang dipakai Raka. “Semoga, Lebah Harun masih hidup, aku segera mencarinya. Jika lelaki itu siuman akan kuselidiki dulu, apa benar lebai Leman ayahnya.
Sekejap saja Raka menghabis segelas besar teh manis yang disuguh Sita. Badannya mulai segar, muncul Ulung Alas menyapa ramah Raka, “sudah segar nanda?”
“Mendingan pakcik.” Ulung mengajak makan siang Raka bersama Sita. Raka segera bergerak, perutnya memang sudah terasa lapar. Di meja terhidang masakan melayu yang sudah lama tak dicicipin Raka. Sambal kerak kelapa, anyang pakis, gulai asam terong dan ikan sungai lemeduk. Ada juga jurung bakar, ikan yang banyak durinya, tapi harganya mahal perkilonya. Ulam daun pegaga, jengkol muda semuanya dicicipin Raka.
Ulung Alas dan Sita berpandangan, senang melihat Raka makan dengan lahap.
Keringat di jidatnya membanjir. Sita membantu menyapunya dengan handuk kecil yang halus.
Seusai makan mereka duduk di lantai beralas tikar pandan di serambi depan.
“Engkau berasal dari mana, ngapa sampai ke Sukaraja ini”, tanya Ulung Alas.
“Panjang ceritanya pakcik, singkatnya, kampung kami, kampung sebelah dan kampung bukit diserang banjir bandang. Rumah-rumah rubuh berlumpur. Banyak makan korban. Ada yang hilang, ada yang ditemukan.
Ayah saya tewas disambar petir, kawan patik dari batavia hilang, patik mencarinya mengikuti alur sungai wampu. Tiga hari tiga malam saya mencarinya tak juga ketemu, hingga di sini saya tak sadar lagi, tiba-tiba sudah di katil rumah pakcik. Sesekali Raka mencuri pandang ke arah Sita. Sekejap kemudian Raka pingsan lagi….”. (***)
Binjai, 180820
Tsi Taura.