Malam itu Maman lagi duduk sendiri di depan pesawat televisi sambill menikmati secangkir kopi yang sudah tak panas lagi. Ia tengah asyik menonton berita di salah satu stasiun televisi swasta, berita tentang seorang penarik becak yang memiliki lima orang anak, kelima-limanya sarjana. Ia diwawancarai diundang ke stasiun televisi.
Hebat, dia hebat, kenapa aku tak bisa seperti dia, kata Maman dalam hati. Maman sejak menikahi istrinya telah berpropesi sebagai penarik becak, sampai ia punya anak lima. Sama dengan kisah yang sedang diwanwancarai di televisi itu. Tapi ia kenapa bisa menguliahkan anak-anaknya, sedang Mamat tidak bisa.
Empat orang sudah anaknya yang menikah, tak ada yang sarjana, kehidupannya semua hanya pas-pasan, kalaupun tak boleh dibilang kurang. Kinii tinggal satu orang yang masih lajang, anak paling bungsu, Itu pun sudah beberapa kali ia minta sama emaknya untuk menikah, tapi kata emak jangan dulu, karena ia belum ada pekerjaan yang menetap, mau kasih makan apa anak orang, itu ucapan emaknya setiap kali ia minta menikah.
Sedang asyiknya menikmati suguhan acara televisi swasta itu, Ridho anak Maman paling bungsu itu datang menghampirinya. Tak pernah-pernah anaknya itu mau datang duduk di sampingnya, tapi kali ini lajangnya itu begitu berhasrat duduk di sampingnya.
Semula Maman acuh saja. Sekilas ia pandang wajah anaknya, seakan ada menyimpan sesuatu yang akan ia sampaikan, tapi Maman tak mau menanyakan hal itu.
Akhirnya Ridho menyerah juga.
“Yah, ada yang mau Ridho sampaikan,” kata anaknya itu terbata.
“Ada apa? Kau sakit?”
“Tidak, yah. Ridho mau bilang kalau…”
“Kalau apa, kau sudah berhenti lagi kerja?”
“Bukan, yah. Maksudku…”
“Maksudmu apa,” kata Maman agak serius.
“Yah, aku mau minta izin untuk menikah.”
Maman tersenyum, Maman memandangi wajah anaknya. Ia coba menangkap sorot mata anaknya itu.
“Ayah, dia minta dilamar minggu depan.”
“Wah, bagus itu.”
“Ayah.”
“Ya, menikah itu bagus. Tapi apa kau sudah punya persiapan. Persiapan lahir dan batin. Sementara pekerjaanmu masih serabutan, kadang kerja kadang tidak. Kadang baru sebulan kerja sudah nganggur dua bulan.”
“Ya, ayah. Keluarganya tidak memaksakan kehendak mereka. Seberapa saja kemampuan kita, mereka mau terima.”
“Ya, walaupun begitu, kita juga kan harus punya persiapan. Tak mungkin kita tangan kosong datang ke sana. Berapa ada duitmu?”
“Uangku hanya dua juta, ayah.”
Maman tersenyum renyah. Ia bayangkan sejumlah uang dua juta itu, cukup untuk bayar apa itu.
“Ridho, uang dua juta itu tidak cukup untuk melamar anak orang. Atau kau sudah buat salah sama dia?”
“Tidak, yah. Ayah harus percaya itu. Memang aku seperti ini, tapi Ridho masih bisa menjaga harga diri. Percayalah, yah,” kata Ridho meyakinkan Maman.
“Anakku,” sambil mengelus bahu Ridho. “Ayah hanya seorang penarik becak. Dan sampai hari ini ayah tak punya uang simpanan. Kalaupun mungkin ayah bisa dapat pinjaman dari kawan ayah, paling banyak mungkin hanya dua juta. Apa cukup kita membawa uang ke sana cuma empat juta?”
“Ayah, anak itu tak punya ayah lagi. Ayahnya sudah lima tahun yang lalu meninggal jatuh dari bangunan.”
“O, ayahnya tukang.”
“Ya, kalau lagi tak ada pekerjaan, ia bawa becak.”
“Emaknya?”
“Emaknya ada. Sekarang tinggal ia berdua dengan emaknya di rumah itu. Mereka hidup dari hasil berjualan pecal.”
“Ya, kelihatannya mereka dari golongan seperti kita juga, orang susah. Ayah kasihan, sebenarnya justru mereka orang susah harus kita bawa antaran yang lebih besar, tapi sayang, kita tak punya apa-apa.”
“Mereka tidak memandang itu, yah.”
“Ya, ayah tahu, tapi kita juga harus pikirkan itu.”
“Jadi, bisa ya minggu depan ini kita lamaran, yah,” kata Ridho bersemangat.
“Ya, bilang sama keluarganya, bahwa kita akan datang melamar perempuan itu.”
“Terimakasih, yah. Aku janji tidak akan menyusahkan ayah lagi,” kata Ridho sambil menyalam dan mencium tangan ayahnya, lalu pergi meninggalkan ayahnya yang sudah tersita waktunya dan terganggu menyaksikan wawancara kru televisi itu dengan penarik becak berhasil itu.
Hari berganti hari, saat yang direncanakan untuk antaran itu pun telah sampai.
Tak ada siapa-siapa dan tak ada membawa buahtangan yang lazim dibawa orang zaman ini. Maman hanya berangkat dengan Ridho dan Samsul abangnya paling tua. Mereka berangkat satu becak, dengan uang dibungkus saputangan sebanyak empat juta rupiah.
Lebih kurang 45 menit, mereka sampai ke halaman rumah Sri Lestari. Di situ orang-orang telah ramai menunggu. Kelihatannya mereka sudah dari tadi menunggu. Sekitar tiga puluh orang ada juga jumlah mereka.
Malu sebenarnya. Tapi Maman berusaha mengendalikan dirinya. Ia coba tenang. Mereka disambut tuan rumah dipersilahkan masuk ke dalam.
Setelah disuguhi minuman, perwakilan tuan rumah mempertanyakan maksud dan tujuan kehadiran mereka. Maman yang pernah beberapa kali menghadiri prosesi lamaran itu, mengatakan yang sebenarnya dan sejelas-jelasnya tanpa menggunakan pantun-pantun. Dan ketika penyerahan uang itulah terjadi perdebatan yang alot. Pihak adik almarhum dari ayah Sri Lestari tidak menerima lamaran Maman. Alasannya keluarga Maman sudah melecehkan mereka.
“Maaf, kalian tak punya adat. Kedatangan kalian ke rumah kami ini adalah penghinaan. Mentang-mentang adik saya ini janda, karena adik saya ini miskin, lalu kalian seenaknya menghina dia. Tidak bisa!” Tolak lelaki itu dengan wajah sadis.
“Bapak yang terhormat, mohon maaf. Kami datang kemari penuh persaudaraan dan apa adanya,” balas Maman.
“Apa persaudaraan, Kalian telah mencoreng arang di kening kami. Kalian datang hanya ayah dengan anak, kan ada pamannya, makciknya, amangborunya, dan saudara-saudara kalian yang lain dan yang kalian bawa hanya 4 juta, bukan 40 juta. Inii penghinaan. Silahkan kalian angkat kaki dari rumah ini,” amuk orang itu.
Sekali mandi basah, pikir Maman, toh ia telah dipermalukan di depan umum.
“Maaf, pak. Ini kan sudah kesepakatan antara anak kita berdua. Saya pikir keputusan mereka berdualah yang lebih tepat kita ambil, kita kan hanya menjembatanii saja pak.”
“Tidak! Ini keputusan,” balas orang itu.
Maman terdiam sejenak. Ia pandang anaknya yang duduk disampingnya sedih menahan malu. Lalu ia lanjutkan pembicaraan,
“Kami datang kemari dengan niat baik, tapi kalau inilah keputusan yang harus kami terima, ya lebih baik kami pulang,” kata Maman.
“Bukan begitu, tunggu dulu,” kata seseorang mengambil alih pembicaraan. Orang itu memberikan isyarat agar yang omongannya keras itu dibawa ke luar. Dan setelah itu, pihak keluarga Sri Lestari yang lain mohon maaf kepada Maman atas peristiwa yang tidak mengenakkan itu.
Dengan senang hati mereka menerima lamaran Maman. Dan hari itu juga direncanakan hari pernikahannya. Hati Maman baru terasa lega, karena apa yang ia hajatkan untuk anaknya telah terkabul. Sampai selesai acara, Maman pun mohon diri. Mereka pulang membawa kebahagiaan. Dengan wajah ceria Maman dan dua anaknya diliputi senyum kemenangan. Semua pasti ada hikmahnya, pikir Maman.
“Harus begitu, nak. Jangan sementang kau anak seorang tukang becak, lantas mereka semaunya menolak kita. Uang bukan segala-galanya,” kata Maman menguatkan semangat Ridho.
“Aku tak sangka kalau ayah setegas itu,” balas Ridho.
“Kau itu anakku, dimanapun tetap anakku. Kewajibanku untuk meluluskan cita-citamu.”
“Terimakasih ayah.”
“Bergembiralah kau, satu bulan lagi bukan waktu yang lama. Kau harus makin rajin cari duit,” kata Samsul memberi semangat pada adiknya.
“Ya, kau akan jadi seorang suami. Tunjukkan di keluarga mereka bahwa kau bukan orang yang harus mereka hina-hina,” tambah Maman.
“Ya, siap ayah.”
Tiga anak manusia dalam becak kehidupan membawa cinta menepis kerikil-kerikil jalanan dalam senyum ceria penuh kebahagaan.
Belakangan beredar kabar, bahwa orang yang keras menolak lamaran itu menginginkan agar Sri Lestari menjadi menantunya. Memang sudah pernah ini disampaikannya kepada ibunya Sri, tapi perempuan itu mengatakan ia tak berhak menentukan jodoh anaknya, kalau memang seperti itu agar langsung saja ditanya badan yang bersangkutan. Ketika ditanya kepada Sri tentang hal itu, Sri menolaknya dan mengatakan ia sudah punya pilihan, dan inilah rupanya puncak penolakan itu. Tapi cinta memang tak bisa dibeli dengan uang. Ah…
***
2018