SEHARi setelah pemakaman ayahanda Marissa, Datuk Lukman, Sita masih menemani Marissa bersama Sonya. Sita menunggu waktu yang tepat melanjutkan perbincangan dengan datuk Panglima Hitam.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, datuk Panglima Hitam seusai Zuhur menjenguk Marissa, memberi setawar dingin agar Marissa tabah dan pasrah atas ketentuan Allah.
Marissa tertunduk tak tertahankannya air matanya tumpah ke lantai.
Tora mendampinginya dengan penuh kasih sayang.
“Tora, engkau bawalah Rissa istirahat. Jiwanya sedang terguncang.”
Tora mengangguk lemah menuntun istrinya ke ruang rehat.
Di teras, tinggal Sita menemani datuk Panglima Hitam. “Ini waktu yang tepat untuk melanjutkan pertanyaan yang tersendat kemarin pada Panglima Hitam”, Sita bergumam.
“Tok, berkenankah Datuk membawa saya ke pemakaman?”
Panglima Hitam menatap lembut Tengku Sita. Dalam hati ia berkata, “aku harus bijak memberikan jawaban.”
Dengan tersenyum ia menutur, “Sita, kau tidak sedang bermimpi kan?”
“Tidak tok”, kata Sita dengan tegas.
“Kau mau berjanji”, tanya Panglima Hitam.
“Janji apa tok yang harus kulaksanakan?”, tanya Sita.
“Kau tak boleh bertanya apapun selama berada di areal makam. Pertanyaan boleh kau ajukan di luar makam. Di makam kau hanya boleh menunjukkan pada atok makam yang membuat kau tertanya-tanya dan terkejut. Bisa kau tepati janji itu?”, tanya Panglima Hitam.
Lama Sita terdiam, memikir-mikir ucapan tok Hitam. “Janji yang sulit untuk dilaksanakan”, Sita membatin.
Dikuatkannya hatinya, ia tahu benar bila janji dilanggar datuk Panglima Hitam sulit diredakan amarahnya.
Akhirnya disusunnya keberanian dan tekadnya, “saya berjanji mematuhi janji tersebut datuk.”
“Baiklah, sekarang kita berangkat.”
Dengan kenderaan Mat Kilau mereka menuju areal pemakaman.
Tengku Sita jalan di depan seperti pemandu wisata makam. Pohon-pohon rindang di seputar makam membuat teduh udara.
Sita tergopoh-gopoh melangkah, ia cepat sampat ke satu makam yang membuat ia kaget kemarin.
Panglima hitam tertinggal jauh melangkah namun ia tak khawatir, ia tahu di mana Sita akan berhenti.
Sita dengan mata sayu menatap sebuah batu nisan yang sangat memeras pikirannya, kenapa ini bisa terjadi. Dia terkejut saat Panglima Hitam sudah di belakangnya. Ia membalikkan tubuhnya, menatap Panglima Hitam dengan bibir bergetar.
Lalu ia membalikkan tubuhnya lagi sambil menunjuk tulisan yang ada di batu nisan tersebut.
Panglima Hitam melihat sekilas dan mengajak Sita keluar areal makam. Kedatangan keduanya ditunggu Mat Kilau dengan menyender di mobil.
Ketiga orang itu kembali ke mobil.
“Kilau, kita jangan langsung pulang ke rumah Tora, kita keliling-keliling dulu seputar perkebunan ini. Sita telah menempati janji, maka atok harus menepati janji pula.
“Baik, datok, Kilau memperlambat laju kenderaannya di jalan berdebu kemarau.
“Sita, tak ada yang keliru dalam pandanganmu. Apa yang tertulis di batu nisan itu adalah fakta, bukan suatu hal yang aneh”, kata Panglima Hitam pada Sita sebelum ia bertanya lebih jauh.
“Maksud atok, itu adalah makam ayahku? Bukankah ayah bermakam di Sukaraja bohorok?”.
“Ya, semula begitu, tapi atok dan Tora menemukan warkat di peti besi di ruang semedi ayahmu. Isinya, ayahmu berwasiat, jika ia meninggal dunia, ia hendak di makamkan di Simpang Kramat Binjai. Di situ banyak teman-temannya dimakamkan. Sayangnya, itu baru kami ketahui saat kau hilang entah ke mana, seminggu ayahmu meninggal dunia.”
Tiba-tiba Mat Kilau menghentikan kenderaan di sebuah kopi di areal perkebunan yang mereka lewati.
“Tok, saya haus, ayok kita singgah di warung itu, sambil melepas pikiran penat.”
“Pucuk dicinta ulam tiba”, kata Datuk Panglima. Ia mengajak Sita turun.
Mereka duduk di tepi dinding warung itu. Rupanya, di samping jualan kopi, ada juga makanan dengan lauk pauk ikan sungai yang segar, gulai asam, jengkol muda, sambal durian.
“Wah, ini ketemu jodoh kata Panglima Hitam.”
Sita juga melahap makanan itu dengan nikmat seakan ia telah melupakan rahasia batu nisan.
Panglima Hitam melihat suasana hati Sita yang mulai ceria, ia pun menutur, “atok, Kilau dan beberapa orang lain yang memindahkan makam ayahmu itu.”
Sita mengangguk lemah, “andainya aku tidak ikut ke makam alm ayah Marissa, aku takkan pernah tahu, ayah berpindah makam”, Sita bicara pada dirinya sendiri.
Sementara di lain tempat, Tan Tualang sibuk mencari Sita. Tak seorang pun yang ditanya-nya tahu keberadaan Sita.
Dia ingin sekali bertemu Sita ada hal penting yang hendak dikatakannya pada Sita. Hingga maghrib tiba Sita belum kelihatan Tualang. Tualang gelisah.
“Kemana kah Sita”, ia bergumam.
(*)
Binjai, 170920, tsi taura.