PAGI itu udara di atas kota Binjai cerah, angin bertiup lemah, matahari bersinar lembut, Husein memohon pada Sri Kemala menemaninya naik kereta Lelawangsa ke Medan.
“Ngeri bang, dijambak Hamidah pula awak nanti”, Sri menyindir igauan Husein di RS Permata Bunda.
“Hahhaaaha, itu bunga tidur, Sri. Engkaulah pengganti bulan yang padam dalam sunyiku.”
Sri Kemala atas saran pakcik mereka, Tengku Syamsuddin, menuruti keinginan Husein, ke Medan.
Kondisi Husein belum stabil, tapi semangatnya luar biasa.
Tiba di stasiun besar depan Lapangan merdeka, hari sudah menunjukkan pukul 11.00 Wib.
Husein mengajak Sri makan siang, sop ikan Batam di jalan Taruma Medan.
“Wow, sudah lama tak ke sana”, mau kalilah bang.
Di restoran itu mereka ketemu dengan dr Tuti, yang dulu merawat Sri Kemala terkena penyakit kuning.
Dia teman Husein di SMP 3, jalan pelajar Medan Teladan.
Husein berpindah-pindah sekolah mengikuti daerah ayahnya bertugas di Pelayaran Indonesia (Pelni).
Husein ketika kuliah di Padang Bulan berbeda jurusan dengan Tuti, Husein di Hukum dan Tuti di Kedokteran, cinta mereka tumbuh subur.
“Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih”.
Adat yang kolot memporak-perandakan cinta kasih mereka. Kemarau pun berdebu hilang rupa dan bayangan.
Sri mengajak Tuti duduk di samping Husein.
Cinta yang terkubur bangkit kembali.
Mereka tak dapat menutupi kerinduan.
“Bang Husein, kita tidak lagi hidup di masa lalu”, kata Tuti.
“dokter, saya dan Husein terdinding aturan agama. Kami tak boleh menikah…..”, kata Sri.
Kenapa……? (**)
Binjai, 220221
Tsi taura