RUMAH itu sunyi semenjak ayah dan dan emak Husein pulang keabadian.
Dulu, rumah tersebut disebut rumah bertangga.
Ada beberapa pohon rambutan, manggis dan penuh tanaman melayu, seperti sirih, serai, dan kunyit.
Kini rumah itu sudah turun tanah, tidak lagi berlantai dan berdinding papan. Kampung itu dulu disebut rambung.
Husein merelakan rumah warisan dari ayahnya yang sudah menjadi haknya menjadi tempat kegiatan seni sastra.
Dia jarang kelihatan di kampung tersebut.
Tak ada yang tahu apa profesinya, dia penuh misteri.
Kawan-kawannya sekampung, terkadang melihat Husein di Medan, Jakarta, seakan dia berada dalam posisi yang penuh tanya.
Sejak kejadian di rumah makan soto tersebut, Husein menghilang, Hamidah juga tak kelihatan di kota rambutan.
Konon suaminya yang selalu melakukan kekerasan fisik terhadapnya tewas setelah berlumuran di stasiun kereta Binjai. Sempat dilarikan ke rumah sakit, menghembuskan napas sebelum tiba di rumah sakit.
Hingga kini pelakunya belum terungkap.
Malam ini, setelah sekian tahun menghilang, Husein kembali ke Binjai, disambut dengan hangat para pencinta sastra dan seni.
Malamnya di bawah hujan yang lebat mengetuk-ngetuk genteng rumah tempat acara renungan sastra.
Husein kurang bergairah malam itu. Sepupunya Sri Kemala menyuruhnya istirahat.
Dia sangat mematuhi Sri Kemala yang sangat menyayanginya sejak remaja.
Husein dipapah sahabatnya Setia Negara menuju kamar tidurnya.
Atas ijin Husein acara berlangsung sesuai jadwal.
Acara yang sukses, semua tim pentas berkerja saling bahu membahu
Inilah kunci sukses acara malam itu.
Esoknya Husein di opname, kelelahan.
Malam itu dia mengingau menyebut-nyebut Hamidah.
Husein seperti tahu Hamidah di sisi kepalanya, padahal Hamidah tak tentu rimbanya. (**)
Binjai, 200121
Tsi taura