HUSEIN si lelaki jangkung itu merasa bersalah, membiarkan Hamidah melangkah tanpa tujuan dengan sisa air mata tumpah di kakinya.
Lelaki itu membalikkan tubuhnya ke arah stasiun besar, dengan harapan dapat bertemu dengan Hamidah.
Matanya liar ke sana kemari, yang dicari tak terlihat batang hidungnya.
Dalam hati dia bergumam, “kenapa aku tiba-tiba peduli pada perempuan itu?”
Hampir tiga puluh menit Husein mencari Hamidah.
Dia menghentikan pencariannya.
“Kalau jodoh, pertemuan itu akan tiba di depanku,” Husein membatin.
Hamidah mengayunkan langkahnya dengan duka yang tak terkatakan rimba pada rembulan.
“Aku tak boleh putus asa, tak mengutuk kegelapan,” katanya dalam hati.
Dari kejauhan dia melihat seseorang tergesa-gesa menuju stasiun besar. Semakin mendekat semakin jelas siapa lelaki itu.
Halimah segera menyuruk di samping kios rokok.
Dia tak mau bertemu dengan lelaki itu.
“Kekejamannya tak bisa kumaafkan”, kata Hamidah dalam benaknya. Dia mengendap-endap untuk keluar dari areal stasiun.
Sekali layar berkembang, berpantang surut kebelakang.
Bayangan lelaki jangkung itu mengusik sunyinya. Dan begitu pula Husein.
“Oh, kereta Lelawangsa…” (***)
Binjai, 180121
Tsi taura