PUKUL 15.00 WIB, pesawat Batik Air, boarding. Terbang ke Jakarta. Suara mesin meraung seakan menembus awan kabut. Pesawat mulai mundur, mengarah landasan pacu.
Di dalamnya duduk berdekatan seat, Marissa, Tan Tualang, Dede Sukendar, Sri Kemala. Tan Tualang sebelum tinggal landas, sudah senyap dengan mata terkatup.
Marissa tiba-tiba menangis, seperti melepas kesedihan yang bercabang-cabang.
Sri Kemala dan Dede Sukendar memahami kesedihan adiknya itu.
Sri tak mau mengusik lagi kesedihan tersebut.
Tan Tualang terbangun di atas kota Jambi.
Guncangan di dalam pesawat mulai terasa, Marissa sedang tertidur pulas, Tualang membangunkan Marissa, “cuaca buruk, Risa, bangunlah, nanti kau bisa muntah.”
Hingga Soekarno Hatta, cuaca tak elok. Tapi pesawat mendarat mulus.
Teman akrab Tualang dan Mobil Dede Sukendar sudah menunggu.
Sekejap saja proses Bagasi, mereka menuju mobil jemputan. Mereka mencari makan malam di seputar Jakarta Pusat, restoran siap saji masakan Minang.
Seusai makan mereka meluncur ke kota Bandung. Sepanjang jalan hujan turun dan udara semakin menyucuk tulang.
Di Binjai, di pasar kaget udara gerah sekali.
Tuti dan Tan Bima memadu kasih dalam kegerahan itu. Makan kuliner malam menambah hangat cinta kasih mereka, perahu tertambat di dermaga tepian kota.
Sementara perjalanan antara Jakarta dan Bandung, disepanjang tol Cipularang, Marissa berdebat dengan Tualang tentang putra mereka, Tan Bima terjerat cinta monyet dengan Tuti.
“Rissa, biarkan saja, merekakan sudah dewasa, sudah mampu membedakan cinta dan nafsu.”
“Kasihan Rosa, karena Tuti jalang itu dia tersudutkan…”, kata Marissa.
“Jodoh bukan wewenang kita menentukannya. Yakinlah, jika Bima mengecewakanmu, hukum patah atau jingkat akan ia jalani.”
Malam itu mereka menginap semua di rumah Marissa.
“Esok kita tak tahu di mana kita menginap….”, Marissa menarik selimutnya (**)
Bandung, 090221
tsi taura