PERTOLONGAN apa itu?”, tanya dokter Tuti. Suaranya bak buluh perindu, bibirnya yang kering seperti kehausan.
Tora mengeja raganya. Sesekali mata mereka beradu pandang. Tuti tersipu tak tahan menatap mata Tora seakan punya magnit, aura pesona yang luar biasa daya sinarnya. Lembut tapi bergelombang.
Birahinya Tuti memekar.
Lamunannya terhenti dengan deheman Tirta Utomo dan melanjut kalimat, “dok, tentunya tahu datuk Kelana, kami akan mengeksekusinya tetapi tak tahu keberadaannya.
Konon dia dirawat di rumah sakit di Jakarta. Dokterkan pernah bertugas di rumah sakit besar dan terkenal di Jakarta. Berkenankan dokter mencheck di mana datuk Kelana dirawat?”
Dokter Tuti berpikir sejenak, menatap Tirta Utomo dan Tora penuh selidik. “Apakah ini tidak membahayakan diriku?”, kata dr Tuti membatin.
Akhirnya ia tak peduli membahayakan dirinya atau tidak. “Aku harus membantu penegakan hukum”, Tuti bergumam.
“Besok saya check, memang sudah menjadi rahasia umum, para koruptor menghindari eksekusi badan berpura-pura sakit dan meminta rawat inap di beberapa rumah sakit.
Umumnya pihak rumah sakit tak tahu pasiennya terlibat kriminal. Sumpah dokter melarang mereka menolak pasien”, kata dokter Tuti dengan suara lembut. Sesekali ia mendesah mencuri pandang ke wajah Tora yang dingin. Seakan ia terpesona dengan sikap dingin Tora. Ia tahu, sikap dingin itu perlu pemanasan yang sabar.
Lamunannya terkerat dengan perkataan Tora, “terima kasih dok, semoga dokter bisa melacak keberadaan datuk Kelana.”
“Insya Allah pak”, kata dokter Tuti.
Omongan mereka pun beralih ke lain cerita. Ternyata dokter Tuti sekampung dengan Tora, adik kelas Tora di SMP Negeri 3 Medan yang berlokasi di jalan Pelajar Medan, tak jauh dari stadion Teladan.
Ayahnya Jawa, ibunya melayu Bohorok.
Tora, ibunya keturunan kerajaan Pagaruyung, ayahnya keturunan Kejuruan Bohorok.
Malam semakin meninggi, pemilik Akau yang mereka singgahi memutar lagu melayu.
Tuti dan Tora merasa sedang berada di kampung halaman.
Lagu Tanjung Katung mereka nikmati:
tanjung katung airnya biru
tempat anak mencuci muka
lagi sekampung hatiku rindu
konon pula jauh di mata
asal kapas menjadi benang
benang ditenun menjadi kain
kekasih lepas jangan dikenang
sudah menjadi si orang lain
dua tiga kucing berlalu
manalah sama si kucing belang
dua tiga dapat kucari
manalah sama dinda seorang
Lagu usai mereka pun beranjak pulang. Mereka bersalaman, sinar mata Tuti mendegup jantung Tora.
“Oh, perempuan, bermimpilah di taman lain, bukan di tamanku”, kata Tora bergumam. (***)
Binjai, 241020,
tsi taura.