ARIIFIN Scot dengan menumpang becak bermotor menuju Jalan Sudirman, dia mencari-cari rumah makan, hingga dia terdampar di pusat penjualan makan malam, orang Binjai bilang “pasar kaget”.
Jenis makanan yang dijajakan lebih banyak jenis masakan khas Minang.
Lagi nikmat-nikmatnya Arifin Scot melahap makan malam di pasar kaget itu, ia dikejutkan pukulan lembut di pundaknya oleh dua orang perempuan , seperti pinang dibelah dua.
“Sendiri saja?,” sapa salah seorang dari dua orang perempuan tersebut.
Arifin Scot ternganga sejenak, “siapa perempuan ini?”.
Dua orang perempuan itu malu hati, “disangka kenal, rupanya salah pandang. “Sakitnya tak seberapa, maluna ini”, aneknot suku Batak yang sangat terkenal di pergaulan anak-anak Medan.
Hampir dua jam Arifin Scot nongkrong di pasar kaget, tiba-tiba dari kejauhan dia melihat sosok lelaki seperti berjalan tanpa arah. Arifin sangat mengenal lelaki itu.
Arifin Scot membuka HP-nya entah siapa yang dihunginya, terdengar suaranya berbicara, “pasien berjalan tanpa arah.”
“Baik sobat, aku ke Kampung Limau Sundai, dia tidak akan macam-macam di sini”, kata Arifin dengan teman bicaranya.
“Dia harus segera diamankan, tingkat stressnya semakin memuncak.”
Kemudian Handphone dimatikan Arifin.
Malam itu sesudah merasa tenteram, Arifin menuju Mesjid Limau Sundai, sebelum titi goyang.
Di sini di menemukan sunyi yang tenang, sudah lama dia tak menyinggah mesjid.
Sunyi di sini
Hati yang gairah
Ya Rabb bukalah pintumu
Aku mengetuk
(Arifin teringat penggalan sajak sobatnya Tan Tualang). (**)
Medan, 31-0121
tsi taura